Salah
satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah
adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan
dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah
pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal
birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural
tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh
dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan
kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa.
Tahanan
KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan
Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah,
mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur
pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender
proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tangerang Selatan.
Modus
paling lazim dari perburuan rente (rent seeking) anggaran pemerintah
adalah dengan menjadi calo anggaran. Pemburu rente berlabel calo ini tidak mengejar
proyek pemerintah untuk dikerjakan sendiri tetapi hanya menjembatani antara
pengelola anggaran dengan pengusaha dan memastikan bahwa proyek tersebut dapat dikuasai
pengusaha yang ia usulkan. Guyuran fulus dari pengusaha pemenang tender proyek
tentu saja menjadi imbalan atas jasa tersebut.
Pemburu
rente paling berbahaya adalah yang mampu mengawinkan kekuasaan politik dengan
kepentingan bisnisnya. Kekuasaan dan perusahaan berada dalam genggamannya.
Dengan kekuasaan yang dimiliki, ia berpotensi mengarahkan kebijakan pemerintah
agar menguntungkan kerajaan bisnisnya. Mereka punya kekuasaan menentukan
kebijakan anggaran dan membuat skenario agar pengeluaran anggaran publik
tersebut memberi kemanfaatan sebesar-besarnya pada diri dan keluarganya. Jika
konteksnya belanja pengadaan barang atau jasa, maka mereka melakukan skenario
agar tender proyek tersebut dimenangkan oleh perusahaan yang mereka miliki
sendiri atau yang diatasnamakan orang lain.
Mengingat
watak alamiah manusia sebagai makhluk ekonomi yang selalu berupaya mencari
keuntungan, kehadiran pemburu rente anggaran pemerintah sebetulnya sesuatu yang
masuk akal dan bisa diperkirakan. Besarnya anggaran negara yang hanya bisa
diakses dan dikelola melalui jalur kekuasaan formal menarik setiap orang untuk
bisa berada dalam lingkaran kekuasaan. Maka, meski norma demokrasi menempatkan
jabatan politik sebagai wujud perwakilan masyarakat dan harus digunakan untuk
mengurus kepentingan publik, aktor yang memegang jabatan tersebut tetaplah
manusia yang memiliki motivasi dan kepentingan pribadi, sekecil apapun itu.
Ini
sisi rasionalitas yang harus kita pahami. Para politisi yang bertarung di arena
pemilihan untuk menduduki jabatan politik baik di legislatif maupun eksekutif
memiliki dua bentuk motivasi yang berjalan beriringan, yakni motivasi pribadi
dan motivasi untuk memperjuangkan kepentingan publik. Penjelasan teoritik
tentang hal ini diperkenalkan James Buchanan melalui teori yang disebut Teori
Pilihan Rasional (Rational Choice Theory). Dalam teori tersebut ia
mengatakan bahwa jika seseorang terjun ke dunia politik dengan tujuan terutama untuk
memperjuangkan kepentingan pribadinya, maka itu adalah sebuah pilihan rasional.
(Nugroho, 2004).
Meski
demikian, politisi yang menduduki jabatan politik secara alamiah akan mengatur keseimbangan
antara pencapaian kepentingan pribadi dengan kepentingan publik. Ada mekanisme
alamiah yang memaksanya mengendalikan hasrat pribadinya. Jika sisi kepentingan
pribadi yang lebih dikedepankan, ia terancam mendapat sanksi masyarakat seperti
kehilangan dukungan yang akhirnya meruntuhkan masa depan politiknya. Kasus
korupsi yang melibatkan keluarga Gubernur Banten Ratu Atut misalnya, diduga
akan berpengaruh pada menurunnya dukungan dan kepercayaan masyarakat
terhadapnya serta keluarganya.
Dalam
sistem politik berbiaya tinggi seperti sekarang, dorongan bagi pejabat politik
untuk melakukan perburuan rente anggaran memang cukup kuat. Walau bagaimanapun,
dana yang dikeluarkan oleh seorang politisi untuk mengikuti sebuah kontestasi
politik, cukup logis untuk disebut sebagai modal yang harus bisa dikembalikan,
syukur-syukur berlebih. Lagi-lagi ini sebuah rasionalitas, sesuatu yang sangat
masuk akal.
Namun,
jika hasrat perburuan rente anggaran ini yang mendominasi dan membuat pejabat
politik meletakkan kepentingan publik dibawah kepentingan pribadi, dampak yang
dirasakan adalah terjadinya inefektivitas dan inefisiensi anggaran. Dalam
pelaksanaan proyek pengadaan barang dan jasa, terjadi monopoli sehingga
menghilangkan kompetisi dan berpotensi mengurangi kualitas pengerjaan proyek
karena besarnya biaya yang menguap.
Selain
karena watak alamiah manusia yang cenderung mencari keuntungan, praktek
perburuan rente ini menjadi berkembang karena ada celah yang bisa disiasati
serta budaya dan sistem politik yang turut mendukung. Maka, karena fenomena ini
bersifat sistemik, penanggulangannya pun harus dilakukan melalui pendekatan
sistem. Dari sisi politik, harus ada perbaikan agar mengarah pada sistem
politik yang berbiaya rendah. Politik harus diubah agar tidak semata bersifat
transaksional dalam arti yang sebenarnya yakni jual beli suara antara politisi
dengan pemilih.
Dari
sisi praktek penyelenggaraan pemerintah, harus dibangun sistem yang bisa
meminimalisir terjadinya peluang perburuan rente anggaran. Dalam sektor
pengadaan barang dan jasa misalnya, sudah mulai ada upaya perbaikan dengan diterapkannya
sistem pengadaan secara elektronik. Sistem ini meminimalisir terjadinya tatap
muka antara pengusaha dan panitia pengadaan sehingga menghindari terjadinya praktek
kongkalikong, meski dalam kondisi tertentu masih perlu diuji efektivitasnya.
Poin pentingnya adalah bagaimana kita mulai memikirkan sebuah sistem
penyelenggaraan pemerintah yang membuat para pihak yang terlibat didalamnya
menjadi tidak bebas untuk melakukan aktivitas perburuan rente anggaran.
Comments
Post a Comment