Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).
Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden serta peraturan lainnya untuk melembagakan pertanian kontrak Inti-Plasma sebagai satu-satunya pola kerjasama yang diijinkan pemerintah untuk kegiatan agroproduksi komersial, termasuk tebu, tanaman perdagangan (seperti teh, kelapa sawit, dan kelapa), produksi susu, unggas dan telur, serta tambak udang (MR. Damanik, 2008).
Pola kemitraan inti-plasma ini pada umumnya merupakan hubungan antara petani, kelompok tani sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi. Sedangkan kelompok mitra berkewajiban memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama.
Detil bentuk pola kemitraan inti-plasma dirinci juga dalam UU no 20 tahun 2008 yang menjelaskan bahwa Usaha Besar sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang menjadi plasmanya dalam penyediaan dan penyiapan lahan; penyediaan sarana produksi; pemberian bimbingan teknis produksi dan manajemen usaha; perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan; pembiayaan; pemasaran; penjaminan; pemberian informasi; dan pemberian bantuan lain yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas serta wawasan usaha.
Pola kemitraan inti-plasma ini diterapkan di berbagai sektor seperti pertanian, perkebunan, peternakan, serta perikanan. Kisah sukses pola kemitraan inti-plasma banyak dijumpai. Namun, problematika yang terjadi juga cukup banyak. Tak jarang terjadi konflik antara perusahaan sebagai inti dan para petani plasma. Ada yang berhasil menyelesaikan konflik dengan baik dan dapat melanjutkan kerjasama kemitraan, ada juga yang gagal menemukan solusi dan berakhir dengan tragis.
Penerapan pola kemitraan inti-plasma tentunya memiliki kesamaan baik yang diterapkan di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, maupun peternakan sehingga memungkinkan bagi kita untuk mendapatkan pembelajaran praktek pola kemitraan inti-plasma dari berbagai sektor. Maka, ketika kita berupaya mencari format ideal pola kemitraan di sektor perikanan, tak ada salahnya kita berkaca pada kisah sukses pola kemitraan di bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan baik dalam hal manajemen kemitraan maupun resolusi konflik.
Soal Paradigma
Kalau dicermati, bibit konflik dalam pola kemitraan inti-plasma bermula dari kekeliruan paradigma terhadap relasi antara inti dan plasma. Selama ini ada pemahaman keliru yang memandang petani plasma adalah “pekerja” atau buruh perusahaan (inti). Paradigma ini mengakibatkan ketidakseimbangan posisi tawar antara inti dan plasma pada perjanjian yang disepakati. Pihak inti dengan latar belakang yang lebih kuat, baik sisi modal, SDM maupun manajemen dapat leluasa menentukan seluruh isi perjanjian, sedangkan petani plasma hanya menerima saja.
Keleluasaan pihak inti dalam menentukan isi perjanjian akan semakin terbuka ketika bertemu dengan plasma yang punya mental inferior yang mungkin timbul akibat lemahnya kepercayaan diri mereka sebagai plasma atau lemahnya pengorganisasian plasma. Dan biasanya, orang inferior cenderung tidak berani kritis terhadap poin-poin perjanjian yang disodorkan oleh pihak lain.
Dalam posisi tawar yang lemah, petani plasma tidak menemukan pilihan lain kecuali menerima isi perjanjian yang mungkin sebenarnya tidak terlalu menguntungkan bagi mereka. Perjanjian kerjasama yang dibuat pun akhirnya tidak mencerminkan kesepakatan yang diterima kedua belah pihak, tetapi “dipaksakan” oleh satu pihak kepada pihak lain. Kelak, perjanjian yang dibuat dari proses kesadaran semu ini sangat mungkin menjadi bibit konflik antara inti dan plasma yang akan merugikan kedua pihak.
Maka hemat saya, antara inti dan plasma harus membenahi paradigma dan sepenuhnya menyadari bahwa keduanya adalah mitra setara yang bekerjasama dalam sebuah perjanjian bisnis. Dalam dunia bisnis, hubungan pola kemitraan antara inti dan plasma seharusnya saling menguntungkan. Keduanya merupakan pebisnis yang bekerjasama atas bidang bisnis yang mereka jalani, serta terikat dalam perjanjian kerjasama yang telah disepakati.
Selain pembenahan paradigma, ada beberapa hal yang menjadi kunci sukses pola kemitraan inti-plasma. Pertama, soal visi untuk sejahtera bersama-sama. Harus diingat bahwa pola kemitraan ini adalah dibangun atas dasar bisnis murni. Dalam menjalin kerjasama bisnis, baik inti maupun plasma tentunya berorientasi pada profit. Profit yang maksimal akan diraih apabila kedua belah pihak melakukan upaya optimal dalam menjalani perannya masing-masing. Keduanya terjalin dalam hubungan yang saling menguntungkan. Maka, keduanya pun harus menjamin tercapainya kesejahteraan bersama, baik inti maupun plasma. Jangan sampai muncul ungkapan; sengsara disini, sejahtera disana.
Menjadi kaya dan sejahtera adalah kondisi yang bisa diterima semua orang. Inilah rumus yang harus dimengerti oleh inti maupun plasma. Kesejahteraan yang dirasakan plasma dari hubungan kemitraan dengan inti niscaya akan menjamin keberlangsungan kerjasama antara keduanya.
Kedua, sikap saling percaya. Kerjasama bisnis tidak akan pernah berjalan baik ketika tidak ditopang oleh kepercayaan. Maka, baik inti maupun plasma hendaknya membangun sikap saling percaya sejak awal serta senantiasa berkomitmen untuk menjaga kepercayaan tersebut. Sebab memelihara kepercayaan jauh lebih sulit daripada mendapatkannya.
Ketiga, penegakkan hukum apabila terjadi pencederaan terhadap isi perjanjian kerjasama baik yang dilakukan perusahaan inti maupun petani plasma. Berbagai kasus seputar kemitraan sejauh ini banyak disebabkan penyimpangan terhadap isi perjanjian kerjasama. Bila tidak cepat diselesaikan, biasanya mengundang pihak ketiga yang memperkeruh suasana dan memperbesar eskalasi konflik.
Kedua belah pihak harus memiliki komitmen untuk menyelesaikan segala sengketa yang timbul akibat penyimpangan perjanjian kerjasama sesuai aturan hukum yang ada. Ketegasan dan kepastian hukum akan membuat para pihak lebih nyaman dalam menjalankan kemitraan.
Keempat, peran lembaga pemerintah sebagai mediator yang memperkuat kerjasama antara inti-plasma serta melakukan kontrol atas pelaksanaan perjanjian kerjasama diantara kedua belah pihak. Pemerintah bertindak sebagai Pembina yang membantu memastikan berjalannya pola kemitraan sesuai perjanjian yang disepakati.
Pembenahan paradigma dan empat hal penunjang sukses pola kemitraan inti-plasma diatas adalah teori yang memerlukan satu hal saja agar dapat diimplementasikan, yaitu komitmen. Pola kemitraan inti plasma hakikatnya adalah sebuah kemitraan bisnis murni. Dan dalam bisnis, kemitraan dibangun berdasarkan asas kesetaraan, kepercayaan, dan saling menguntungkan. Kemitraan berbasis prinsip-prinsip seperti itu akan menghasilkan sinergi, struktur bisnis yang kuat, dan bersifat berjangka panjang.
Terakhir, saya ingin mengutip pasal 34 undang-undang nomor 20 tahun 2008 yang menyatakan bahwa perjanjian kemitraan tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar kemandirian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta tidak menciptakan ketergantungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah terhadap Usaha Besar.
Comments
Post a Comment