Tulisan pertama saya dimuat Majalah Saksi No.25 Thn II 22 Agustus 2000. Waktu itu Majalah Saksi baru membuka rubrik Opini Anda dan mengundang pembaca untuk mengirimkan tulisan. Karena rubrik baru, tentu masih sedikit penulis yang tahu informasi ini dan mengirimkan karyanya ke Majalah Saksi. Begitu saya fikir saat itu.
Lalu saya mengambil buku tulis dan mulai membuat coretan tulisan tentang moralitas pelajar. Waktu itu ada beberapa kasus tawuran pelajar yang muncul di media. Saya tidak punya mesin tik apalagi komputer. Kalaupun ada rental komputer, saya yang waktu itu masih gaptek tentu tak bisa mengoperasikannya. Jadi semua ditulis tangan. Coretan tulisan yang sudah saya edit lalu disalin ulang pada dua lembar kertas kosong di bagian tengah buku tulis. Cara menulis seperti itu mengingatkan saya kalau hendak membuat surat izin tidak masuk sekolah.
Kertas berisi salinan tulisan tersebut saya lipat lalu saya masukkan ke dalam amplop. Tak lupa saya cantumkan alamat lengkap dan nomor KTP. Persis seperti biasanya mengirim surat. Harapan saya waktu itu sederhana; mudah-mudahan dimuat supaya bisa mendapatkan honor lima puluh ribu rupiah. Jujur saja, selain coba-coba, motivasi paling kuat bagi saya yang baru setahun lulus SMU dan menganggur waktu itu adalah mendapatkan uang honor.
Setelah tulisan itu dikirim, saya selalu menanti Majalah Saksi edisi terbaru. Sempat muncul keraguan dan kecemasan. Apa mungkin opini yang ditulis tangan itu dimuat? Bagaimana kalau tulisan tangan itu dianggap tidak sopan dan oleh redakturnya dilempar begitu saja ke tong sampah? Lagipula saya kan tidak punya titel, jabatan, atau kedudukan yang bisa menguatkan isi tulisan. Misalnya ketua anu, mahasiswa anu, atau pengamat anu. Saya cuma warga biasa tanpa embel-embel apapun. Dan, masih pengangguran.
Keraguan itu terjawab ketika Majalah Saksi akhirnya memuat tulisan saya. Kepuasan yang saya rasakan waktu itu sejenak menyisihkan motivasi awal mendapatkan uang honor. Saya sempat bengong setengah tak percaya; "Bisa juga ya". Apalagi ketika ada tetangga yang mengkonfirmasikannya pada saya. Ia diberitahu temannya ada orang Kelurahan Tanjung Agung, tempat tinggal saya, yang menulis di Majalah Saksi. Di tulisan tersebut memang tertera jelas alamat penulis sehingga gampang ditelusuri.
Sampai sekarang, saya selalu mengenang pemuatan tulisan pertama itu. Itu adalah kali pertama saya menulis sekaligus kali pertama dimuat media. Dan yang membuat saya selalu ingat adalah bahwa tulisan itu ditulis tangan di kertas biasa. Lagi pula, saya hanya lulusan SMU dan waktu itu masih pengangguran. Saya selalu merasa, tulisan pertama itu merupakan cara Tuhan menggedor kesadaran bahwa saya punya bakat menulis yang tak pernah saya sadari dan saya kembangkan.
Setelah tulisan pertama itu, saya mulai menuliskan hal-hal kecil yang saya lihat dalam kehidupan sosial pada sebuah buku tulis. Ya, semacam catatan harian. Setelah duduk di bangku kuliah, saya pun mulai berani mengirimkan tulisan di koran harian lokal. Tentu saja tak lagi ditulis tangan karena saya sudah mulai akrab dengan komputer. Alhamdulillah, ada saja yang dimuat.
Hingga kini, tujuh tahun setelah tulisan pertama itu, saya tetap menulis. Menulis catatan harian, artikel, cerpen, puisi, atau apapun yang perlu saya tulis. Kompensasi materil mungkin belum banyak saya raih dari menulis. Tapi bagi saya, tetap menulis adalah salah satu cara saya mensyukuri bakat yang sudah diberikan Tuhan.
Lalu saya mengambil buku tulis dan mulai membuat coretan tulisan tentang moralitas pelajar. Waktu itu ada beberapa kasus tawuran pelajar yang muncul di media. Saya tidak punya mesin tik apalagi komputer. Kalaupun ada rental komputer, saya yang waktu itu masih gaptek tentu tak bisa mengoperasikannya. Jadi semua ditulis tangan. Coretan tulisan yang sudah saya edit lalu disalin ulang pada dua lembar kertas kosong di bagian tengah buku tulis. Cara menulis seperti itu mengingatkan saya kalau hendak membuat surat izin tidak masuk sekolah.
Kertas berisi salinan tulisan tersebut saya lipat lalu saya masukkan ke dalam amplop. Tak lupa saya cantumkan alamat lengkap dan nomor KTP. Persis seperti biasanya mengirim surat. Harapan saya waktu itu sederhana; mudah-mudahan dimuat supaya bisa mendapatkan honor lima puluh ribu rupiah. Jujur saja, selain coba-coba, motivasi paling kuat bagi saya yang baru setahun lulus SMU dan menganggur waktu itu adalah mendapatkan uang honor.
Setelah tulisan itu dikirim, saya selalu menanti Majalah Saksi edisi terbaru. Sempat muncul keraguan dan kecemasan. Apa mungkin opini yang ditulis tangan itu dimuat? Bagaimana kalau tulisan tangan itu dianggap tidak sopan dan oleh redakturnya dilempar begitu saja ke tong sampah? Lagipula saya kan tidak punya titel, jabatan, atau kedudukan yang bisa menguatkan isi tulisan. Misalnya ketua anu, mahasiswa anu, atau pengamat anu. Saya cuma warga biasa tanpa embel-embel apapun. Dan, masih pengangguran.
Keraguan itu terjawab ketika Majalah Saksi akhirnya memuat tulisan saya. Kepuasan yang saya rasakan waktu itu sejenak menyisihkan motivasi awal mendapatkan uang honor. Saya sempat bengong setengah tak percaya; "Bisa juga ya". Apalagi ketika ada tetangga yang mengkonfirmasikannya pada saya. Ia diberitahu temannya ada orang Kelurahan Tanjung Agung, tempat tinggal saya, yang menulis di Majalah Saksi. Di tulisan tersebut memang tertera jelas alamat penulis sehingga gampang ditelusuri.
Sampai sekarang, saya selalu mengenang pemuatan tulisan pertama itu. Itu adalah kali pertama saya menulis sekaligus kali pertama dimuat media. Dan yang membuat saya selalu ingat adalah bahwa tulisan itu ditulis tangan di kertas biasa. Lagi pula, saya hanya lulusan SMU dan waktu itu masih pengangguran. Saya selalu merasa, tulisan pertama itu merupakan cara Tuhan menggedor kesadaran bahwa saya punya bakat menulis yang tak pernah saya sadari dan saya kembangkan.
Setelah tulisan pertama itu, saya mulai menuliskan hal-hal kecil yang saya lihat dalam kehidupan sosial pada sebuah buku tulis. Ya, semacam catatan harian. Setelah duduk di bangku kuliah, saya pun mulai berani mengirimkan tulisan di koran harian lokal. Tentu saja tak lagi ditulis tangan karena saya sudah mulai akrab dengan komputer. Alhamdulillah, ada saja yang dimuat.
Hingga kini, tujuh tahun setelah tulisan pertama itu, saya tetap menulis. Menulis catatan harian, artikel, cerpen, puisi, atau apapun yang perlu saya tulis. Kompensasi materil mungkin belum banyak saya raih dari menulis. Tapi bagi saya, tetap menulis adalah salah satu cara saya mensyukuri bakat yang sudah diberikan Tuhan.
Comments
Post a Comment