Skip to main content

PNS Dilarang Kaya?

Penyitaan harta Dhana Widyatmika (DW), mantan pegawai Ditjen Pajak, yang diberitakan memiliki rekening mencurigakan sekitar 60 milliar rupiah, mengundang polemik. Bahkan, sejak penetapannya sebagai tersangka tindak pidana korupsi dan pencucian uang juga sudah menimbulkan perdebatan dan opini beragam, baik yang muncul di media massa maupun di forum jejaring sosial dunia maya.

Polemik bermula dari ketidakjelasan bukti yang mendasari penetapannya sebagai tersangka kasus korupsi dan pencucian uang. Jaksa Agung Basrief Arief, sebagaimana dilansir jurnas.com (kamis, 8 Maret), mengatakan masih akan membuktikan bahwa harta kekayaan DW berasal dari tindak pidana. Ia juga mengatakan besaran angka Rp 60 milliar rekening DW tidak jelas sumbernya, mengingat kejaksaan belum menetapkan total temuan dana rekening milik DW.

Ini berarti, penetapan DW sebagai tersangka kasus korupsi dan pencucian uang, tidak didasarkan pada bukti yang valid, hanya berdasarkan laporan seseorang. Baru sekedar dugaan karena ia seorang PNS yang memiliki harta banyak. Demikian juga dengan penyitaan harta kekayaannya yang tanpa didasari alasan yang jelas. Penyitaan harta terpidana koruptor semacam Gayus tentu masuk akal karena sudah mendapat vonis dari pengadilan. Namun, penyitaan harta seseorang yang baru diduga melakukan tindak pidana korupsi tentu sangat mengherankan.

Belakangan, penangkapan DW melebar dari isu tindak pidana korupsi menjadi isu bisnis PNS. Beberapa pejabat Kementerian Keuangan juga melempar isu bisnis PNS ini setelah DW ditahan kejaksaan. DW memang PNS yang memiliki cukup banyak bisnis yang diprekirakan menghasilkan profit lumayan besar. Melebarnya isu seperti ini membuat orang mulai menduga bahwa kasus DW hanyalah pengalihan isu untuk menutup isu politik yang melanda elite parpol tertentu.

Penetapan dan penahanan DW, penyitaan harta kekayaannya tanpa dilandasi dasar hukum jelas, dan hanya didasarkan laporan seseorang, agaknya menjadi kasus yang mencemaskan kalangan PNS, baik yang sudah punya bisnis maupun yang berniat membuka usaha. Hal ini juga bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.

Seorang PNS yang memiliki bisnis atau warisan yang membuatnya lebih kaya daripada rekan-rekannya yang satu level, dicurigai orang dan dilaporkan, bisa langsung ditangkap kejaksaan, lalu disita hartanya sebelum ada kejelasan status harta yang ia peroleh tersebut. Jelas ini tindakan yang tak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan hukum. Dalam konteks inilah kejaksaan agung perlu segera menyampaikan penjelasan yang meyakinkan atas proses hukum yang dilakukan terhadap DW.

Bisnis PNS

Ada 3 peraturan yang kini ramai diperbincangkan terkait PNS berbisnis yaitu PP Nomor 6 Tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri Dalam Usaha Swasta, PP Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin PNS, dan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. PP 53 Tahun 2010 ini menggantikan PP Nomor 30 Tahun 1980.

Larangan berbisnis bagi PNS secara tegas diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 1974. Untuk golongan IV/a keatas sama sekali tidak diperkenankan melakukan usaha perdagangan. Namun, untuk PNS golongan III/d ke bawah masih dibolehkan melakukan kegiatan usaha dengan izin dari atasan. Aturan tersebut juga tertuang dalam PP Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin PNS. Namun, dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 yang menggantikan PP Nomor 30 Tahun 1980, larangan PNS berbisnis atau melakukan kegiatan usaha tidak lagi dicantumkan.

PP Nomor 53 Tahun 2010 hanya melarang PNS bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing. Selain itu, PNS juga dilarang menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional tanpa izin pemerintah.

Yang menjadi catatan adalah kehadiran PP Nomor 30 Tahun 1980 tidak dalam konteks menggantikan PP Nomor 6 Tahun 1974, meskipun didalamnya memuat salah satu substansi yang sama yaitu pembatasan PNS melakukan kegiatan usaha. Tidak ada diktum yang menyebutkan PP Nomor 6 Tahun 1974 dicabut, bahkan PP tersebut menjadi konsideran penerbitan PP Nomor 30 Tahun 1980.

Sedangkan berbagai pemberitaan media massa banyak mengutip pernyataan narasumber yang mengatakan bahwa PP Nomor 30 Tahun 1980 merupakan perubahan PP Nomor 6 Tahun 1974. Sehingga PP Nomor 53 Tahun 2010 pengganti PP Nomor 30 Tahun 1980 yang didalamnya tidak lagi mengatur larangan PNS berbisnis menjadi pedoman terakhir yang digunakan. Seyogyanya pemerintah pusat membereskan kesimpangsiuran semacam ini supaya tidak menimbulkan interpretasi yang menyesatkan di kalangan PNS.

Pengaturan soal PNS berbisnis memang masih diperlukan, setidaknya untuk menjamin 2 hal: pertama, terlaksananya tugas dan kewajiban sebagai PNS bersangkutan tanpa terganggu aktivitas bisnisnya; kedua, tidak ada konflik kepentingan antara peran sebagai PNS dengan bisnis yang dijalankan. Dua hal inilah yang patut menjadi pedoman utama dalam pengaturan bisnis PNS.

Untuk menjamin pelaksanaan tugas dan kewajiban PNS, pemerintah perlu membuat aturan lebih ketat dan sanksi yang jelas. PP 53 Tahun 2010 sebetulnya cukup ketat mengatur disiplin PNS, tinggal bagaimana implementasi di lapangan. Mungkin yang perlu ditambahkan adalah soal indikator capaian kinerja pegawai agar kehadiran PNS di kantornya memberikan outcomes yang jelas dan terukur, bukan sekedar datang pagi dan pulang sore.

Terkait bisnis yang menimbulkan konflik kepentingan, memang perlu ada penegasan dan pelarangan yang tegas. Misalnya bisnis PNS yang berkaitan dengan proyek pengadaan barang/jasa pemerintah. Bisnis semacam ini harus dilarang sebab jelas akan menimbulkan konflik kepentingan.

Melarang PNS berbisnis secara total rasanya tidak mungkin dilakukan sebab berkaitan erat dengan faktor kesejahteraan. Gaji PNS memang tidak disetting untuk menjadikan pegawai menjadi kaya raya tetapi untuk hidup cukup. Maka, bisnis menjadi pilihan para PNS untuk mendapatkan sumber penghasilan lain yang halal. Hal ini tentu sangat lumrah dan dapat dimengerti.

Faktanya memang cukup banyak PNS yang punya usaha sampingan, baik PNS pusat maupun PNS daerah. Ada yang membuka usaha bidang perdagangan, jasa, maupun sekedar investasi usaha. Faktor ekonomi mungkin tak selalu jadi motif utama, ada juga yang karena memang hobby ataupun faktor lainnya.

Kasus DW seperti yang singgung diawal tulisan, agaknya harus menjadi perhatian para PNS yang berbisnis. Supaya tidak menimbulkan kecurigaan, mungkin sebaiknya mereka melaporkan penghasilan sampingannya tersebut kepada KPK, untuk mencegah terjadinya musibah hukum seperti dialami DW, terlepas jika nantinya ia terbukti melakukan tindak pidana.

Paling tidak, jangan sampai karena terlihat lebih kaya dari PNS lain, para PNS pebisnis itu dicurigai orang, dilaporkan ke kejaksaan, ditetapkan sebagai tersangka, disita harta dan bisnisnya, lalu baru dicarikan bukti untuk membenarkan penyitaan tersebut. 
(Dimuat Lampung Post, Kamis 22 Maret 2012)

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger