Kasus
penganiayaan terhadap Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Way Kanan Gino Vanolie oleh
oknum pemborong yang dilatarbelakangi persoalan proyek pemerintah memantik
kembali isu ketidakberesan proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan
pemerintah. Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) yang digulirkan
pemerintah sebagai instrumen yang mengganti pola pelelangan manual menjadi elektronik
pun mulai mendapat sorotan. Sebagian rekanan menengarai masih ada celah praktek
KKN meski pelelangan proyek pengadaan dilaksanakan secara online seperti adanya
pemberian fee proyek kepada panitia supaya memuluskan jalan memenangkan sebuah
paket yang dilelang (Lampung Post, 24/7/2012).
Secara
teori, apabila sebuah proyek dilelang secara elektronik melalui LPSE, panitia
lelang akan sangat sulit melakukan pengkondisian atau mengarahkan pemenang.
Jadi, meskipun rekanan memberikan fee kepada panitia sebagai “mas kawin”
sebelum lelang dilaksanakan, tak ada jaminan mereka akan jadi “pengantin” atau pemenang
lelang. Mengapa?
Lelang
secara online menutup modus yang mungkin dapat dilakukan pada lelang secara
manual seperti menghalangi pengusaha lain mendaftar sebagai peserta lelang
dengan menggunakan jasa preman, panitia memberikan kesempatan kepada “calon
pengantin” untuk mengoreksi dokumen penawaran setelah diketahui ada penawaran
lain yang lebih layak menang, atau tekanan secara psikis bahkan kekerasan
kepada panitia oleh oknum rekanan agar dijadikan pemenang.
Namun
demikian, adanya keluhan rekanan atau pengusaha soal masih adanya celah KKN
dalam proses pelelangan online tetap harus menjadi perhatian dan dikaji
kebenarannya sebagai bahan penyempurnaan sistem pengadaan barang/jasa
pemerintah yang betul-betul efisien, efektif, dan kredibel. Ini penting
dilakukan guna menjaga integritas Sistem Pelelangan Secara Elektronik serta
merawat harapan akan terwujudnya pengadaan barang dan jasa pemerintah yang
menyejahterakan bangsa.
Lagi pula,
sudah menjadi rumus kehidupan bahwa pelaku kejahatan akan berupaya menemukan
berbagai cara guna menyiasati sistem pengamanan mutakhir yang dirancang untuk
menghambat gerak langkah mereka. Kian canggih pengamanan, kian gigih dan
canggih pula cara kerja para actor kejahatan.
Satu hal
yang perlu dicatat, aktivitas pelelangan yang dilakukan secara online akan
terekam secara otomatis di server Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah (LKPP) dan dapat diaudit oleh auditor BPK jika diperlukan. Misalnya,
aktivitas panitia dan rekanan yang mengakses SPSE pada satu komputer yang sama
di malam hari pada saat lelang memasuki tahap pemasukan dokumen penawaran akan
terekam dalam server dan bisa menjadi indikasi adanya kongkalikong diantara
mereka.
Harapan Baru
LPSE
merupakan instrumen yang memberikan harapan akan masa depan pengadaan
barang/jasa pemerintah yang lebih baik, efisien, efektif, transparan, terbuka,
dan kredibel. Kehadirannya membuat proses pengadaan barang/jasa lebih tertib,
adil, nyaman, serta memperkecil terjadinya berbagai praktek KKN yang kerap
terjadi dalam pelelangan secara manual.
Tetapi, menumpahkan
harapan hanya kepada LPSE jelas keliru. Penggunaan teknologi bukan faktor
tunggal pemberantasan KKN dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Pelaksanaan
lelang secara online melalui LPSE harus dibarengi dengan strategi lain yang
berkelindan dengan kebijakan pengadaan barang/jasa.
Pertama,
peningkatan kesejahteraan panitia pengadaan. Adanya panitia pengadaan yang
nakal kerap didorong oleh ketidaksesuaian antara honorarium yang diterima
dengan tugas, tanggung jawab, serta resiko pekerjaan sebagai panitia pengadaan.
Beban kerja dan resikonya terlalu berat dibanding honor yang diterima. Maka, sangat
wajar jika muncul fenomena pegawai yang menolak menjadi panitia pengadaan.
Banyak pula
pegawai yang enggan mengikuti ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa
sebagai prasyarat menjadi panitia pengadaan. Kalaupun berkesempatan mengikuti
pelatihan dan ujian sertifikasi, banyak yang memilih tidak menjawab soal ujian
atau menjawab sekenanya. Cerita dari mulut ke mulut tentang pusingnya menjadi panitia
pengadaan membuat mereka memilih tidak lulus ujian sertifikasi.
Kedua, membangun
independensi panitia pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan (ULP), Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK), dan pihak yang terlibat dalam pengadaan sehingga tidak
dipengaruhi oleh hal-hal diluar teknis yang mengganggu profesionalitas kerja
mereka. Jika honorarium berkaitan dengan kesejahteraan lahir panitia, maka
independensi berkaitan dengan kesejahteraan batinnya.
Ketiga,
penegakkan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan kecurangan
dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Efek jera diperlukan agar para
pihak di level manapun yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa pemerintah
berfikir seribu kali jika berniat melakukan kecurangan.
Dalam
konteks ini, kehadiran aplikasi whistle
blower system di website LPSE se-Indonesia sangat prospek guna menampung
pengaduan dari internal instansi pemerintah yang mengetahui adanya penyimpangan
dalam suatu proses pengadaan. Hanya saja LKPP perlu meyakinkan bahwa aplikasi
tersebut betul-betul nyaman bagi para whistle blower dan tidak akan menjadi
boomerang bagi karir mereka.
Keempat, membangun
iklim usaha yang sehat diawali dengan komitmen para pengusaha untuk mengikuti
proses pelelangan secara fair tanpa mencoba melakukan intervensi pelelangan
melalui praktek suap. Para pengusaha juga harus berani melaporkan indikasi
kecurangan baik melalui prosedur pelelangan seperti sanggah dan sanggah banding
atau melalui surat resmi yang ditujukan ke LKPP.
Sebagai
suatu mekanisme baru dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tentu banyak hal
yang harus dibenahi di LPSE. Tugas kita semua untuk selalu mengawasi dan
menyempurnakan mekanisme pengadaan barang/jasa pemerintah sehingga benar-benar
efektif, efisien, dan menyejahterakan bangsa.
(Dimuat Harian Lampung Post, Senin 30 Juli 2012)
Comments
Post a Comment