Skip to main content

Mengubah Mindset dengan Lelang Online


Ketika berita tentang proyek pengadaan barang dan jasa di Lampung Timur yang diduga telah habis dibagi tanpa melalui proses tender muncul di harian Lampung Post beberapa waktu lalu, ada dua hal yang menarik dicermati: Pertama, perlu diperjelas, apakah proyek yang katanya telah dibagi habis itu adalah paket pekerjaan pengadaan yang seharusnya dilakukan melalui proses pelelangan ataukah memang paket pekerjaan yang termasuk dalam kategori pengadaan langsung (tanpa pelelangan). Jika yang dimaksud adalah paket pekerjaan yang seharusnya dilakukan melalui proses pelelangan, membaginya kepada rekanan tanpa proses pelelangan jelas sebuah kesalahan. Tapi jika yang dimaksud adalah paket pekerjaan yang dilakukan dengan metode pengadaan langsung, tidak ada masalah.

Kedua, pertanyaan rekanan kepada seorang kepala dinas tentang paket pekerjaan pengadaan sebetulnya tidak perlu dilakukan jika bertujuan untuk sekedar mengetahui rencana pengadaan di dinas tersebut. Mengapa? Karena sesuai dengan Perpres 54 tahun 2010 yang direvisi menjadi Perpres 70 tahun 2012, setiap instansi pemerintah memang diharuskan mengumumkan rencana umum pengadaan yang memuat proyek pengadaan barang/jasa apa saja yang akan dilaksanakan pada tahun anggaran yang akan berjalan. Pengumuman tersebut bisa dilihat di website LPSE atau website instansi pemerintah terkait.

Artinya, siapapun yang ingin mengetahui paket pengadaan yang akan dilaksanakan sebuah instansi pemerintah bisa melihat dan memantaunya di website LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) atau website intansi tersebut. Berdasarkan fakta empirik, rekanan yang menanyakan soal paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa pemerintah biasanya tak sekedar ingin tahu, tapi juga menjadikannya sebagai pintu awal lobi untuk bisa mendapatkan paket pekerjaan yang akan dilelang. Lobi semacam ini adalah pola lama yang biasa terjadi ketika pelelangan proyek pemerintah dilakukan manual tanpa sistem elektronik. Ironinya, meski pelelangan proyek pemerintah sudah mulai dilakukan secara elektronik (lelang online), dimana aktivitas tatap muka antara rekanan dengan panitia tidak diperlukan, praktek tesebut masih saja terjadi.

Perubahan Mindset

Lelang secara elektronik atau lelang online hakikatnya merupakan pemanfaatan teknologi untuk memperbaiki sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah dari cara lama yang rawan penyelewengan dengan cara baru yang diformat lebih jujur, terbuka, transparan, dan akuntabel. Pemanfaatan teknologi ini juga disetting memiliki “kekuatan pemaksa” yang memaksa para pihak yang terlibat dalam proses pengadaan untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa secara adil, jujur, terbuka, dan transparan.

Salah satu prinsip yang diusung lelang secara elektronik yaitu meniadakan aktivitas tatap muka antara panitia pelelangan dengan rekanan dalam suatu proses pelelangan. Dalam pelelangan secara elektronik, sejak awal tahapan pengumuman paket pekerjaan sampai dengan penetapan pemenang, tidak ada tatap muka antara panitia lelang dengan rekanan sehingga logikanya mereka tidak saling tahu. Selain itu, panitia maupun rekanan tidak dapat membatasi jumlah pendaftar atau menghalangi rekanan yang ingin mendaftar, karena prosesnya dilakukan secara online.

Maka, jika proses tender dilakukan secara elektronik, sebetulnya tidak mungkin jika proyek pengadaan dikatakan sudah habis dibagi kepada rekanan sebelum lelang dilaksanakan. Alasannya adalah karena dalam pelelangan secara elektronik (online), agak sulit untuk mengarahkan rekanan tertentu sebagai pemenang. Secara teori, panitia dengan rekanan, maupun rekanan dengan rekanan lain tidak saling tahu, sehingga mereka tidak saling tahu juga proposal penawaran dari tiap rekanan. Penawaran dari rekanan yang diarahkan sebagai pemenang sangat mungkin dikalahkan penawaran yang lebih baik dari rekanan lain.

Bagaimana jika pelelangan online ini diawali oleh lelang offline sehingga bisa disebut bahwa paket pekerjaan yang akan dilelang sudah dibagi habis kepada rekanan? Hal ini mungkin saja terjadi. Asumsinya jumlah rekanan yang ada di sebuah daerah sudah diketahui dan mereka berkompromi untuk menentukan siapa saja yang akan mendaftar di sebuah paket sehingga tidak ada rekanan lain yang mendaftar di paket yang sudah jelas diarahkan siapa pemenangnya. Ini mungkin maksud dari paket yang sudah habis dibagi, artinya meski proses lelang dilakukan secara online namun ada kompromi antara rekanan ataupun asosiasi rekanan dengan pihak pemerintah yakni Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau panitia pengadaan untuk mengarahkan calon pemenang.

Tetapi sekali lagi, model pengarahan pemenang seperti ini bisa berjalan jika tidak ada hal lain yang membubarkannya yaitu adanya rekanan lain diluar pihak yang berkompromi yang memasukkan penawaran jauh lebih baik dari rekanan yang diarahkan jadi pemenang. Untuk paket pekerjaan dengan nilai nominal diatas 2 milyar rupiah misalnya, sangat mungkin menarik minat rekanan dari luar Lampung untuk mengikutinya. Penawaran rekanan tersebut tak bisa dihalang-halangi pihak lain sebagaimana yang lazim terjadi dalam lelang manual karena prosesnya cukup dilakukan lewat internet. Dan rekanan tersebut bisa menjadi pemenang jika penawarannya mendapat ranking tertinggi diantara rekanan lain.

Menurut saya, jika sebuah proses pelelangan secara elektronik (online) didahului oleh lelang offline sebagaimana saya sebut diatas, ini menjadi tanda bahwa pelelangan secara elektronik baru bisa mengubah proses pengadaan dari segi mekanisme, belum mengubah mindset dan mentalitas para pihak yang terlibat dalam pengadaan. Meski secara teoritis tidak ada aktivitas tatap muka antara para rekanan dengan panitia pengadaan dalam sebuah lelang online, tetap ada upaya untuk melakukan tatap muka demi mencapai kepentingan tertentu.

Jika lelang offline sebelum lelang online ini betul-betul terjadi, jelas hal ini akan merontokkan wibawa pemerintah dan mengundang persepsi negatif terhadap kebijakan pelelangan secara elektronik. Mungkin akan ada anggapan bahwa kebijakan lelang online tidak sepenuh hati dilaksanakan dan hanya menjadi bumper jika ada kasus pengadaan muncul ke permukaan.

oleh karena itu, sedikitnya ada 2 hal yang perlu dikuatkan agar lelang secara online ini bisa menyentuh perubahan dalam mindset dan mentalitas para pihak yang terlibat. Pertama, penegakkan hukum yang tegas terhadap siapapun yang melakukan kecurangan. Terlebih data menunjukkan bahwa mayoritas kasus yang ditangani KPK adalah kasus pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Selain itu, audit terhadap pengadaan barang dan jasa pemerintah sebaiknya dilakukan sampai menelaah rekaman aktivitas panitia maupun rekanan yang tersimpan dalam server LPSE. Para pakar teknologi informasi seyogyanya dilibatkan untuk bisa mendeteksi indikasi kecurangan yang terbaca dari rekaman tersebut. Misalnya jika ditemukan adanya akses yang dilakukan panitia dan penyedia di satu komputer pada waktu yang berdekatan, maka ini menjadi bahan pertanyaan auditor kepada panitia.

Kedua, pemberian insentif yang lebih layak pada panitia pengadaan dan memproteksi mereka dari kemungkinan adanya intervensi pihak lain. Soal insentif yang minimalis dan kuatnya intervensi pihak lain kerap menjadi alasan para pemegang sertifikat ahli pengadaan untuk menolak dilibatkan sebagai panitia pengadaan. Terbitnya kebijakan baru yang menempatkan para panitia pengadaan sebagai pegawai dalam jabatan fungsional mungkin bisa menjadi harapan, walau masih harus menunggu kejelasan implementasinya.

Terakhir, saya ingin mengutip pernyataan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo dalam rakornas di Bali tahun 2011 lalu. Menurutnya, komponen teknologi dalam kebijakan lelang elektronik itu hanya 20%, selebihnya adalah komitmen para pemimpin pemerintah untuk menciptakan pengadaan barang dan jasa yang efektif, efisien, akuntabel, serta benar-benar menyejahterakan bangsa. Komitmen inilah yang harus selalu dibangun. Tanpa komitmen, sebagus apapun sistem yang dibuat, kita akan selalu mencari celah agar bisa mensiasatinya untuk keuntungan pribadi dan kelompok.

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger