Skip to main content

Kebijakan Mobil Murah

Diantara kepala daerah yang terang-terangan menyatakan keberatannya terhadap kebijakan pemerintah pusat meluncurkan program mobil murah dan ramah lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC) adalah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Tanpa perlu kajian yang rumit hingga mengernyitkan dahi, alasan Jokowi menolak program LCGC tersebut amat mudah dimengerti. Harga mobil yang murah, apalagi ditambah dengan kemudahan kredit, akan meningkatkan pembelian masyarakat terhadap mobil. Meningkatnya pembelian mobil berarti akan menambah jumlah mobil yang beredar di jalanan.

Dengan asumsi jalanan di Jakarta tidak bisa lagi diperluas atau ditambah, maka hadirnya mobil-mobil baru ini akan menambah kemacetan. Ini sama saja dengan tambahan beban bagi pemerintah DKI Jakarta dan kota-kota lain yang sedang berupaya membenahi masalah kemacetan. Belum juga persoalan kemacetan berhasil diselesaikan, tiba-tiba saja berkeliaran mobil-mobil baru yang seakan sengaja dimunculkan untuk menguji kemampuan kepala daerah mengatasi kemacetan.

Apakah hal ini tidak terfikirkan sebelumnya oleh pemerintah pusat? Pastinya sudah. Teramat teledor jika pemerintah pusat memutuskan sebuah kebijakan tanpa mengindentifikasi berbagai konsekuensi yang timbul akibat hadirnya kebijakan tersebut. Pemerintah pusat seharusnya juga sudah siap memberikan penjelasan yang gamblang ketika ada pihak yang menanyakan implikasi kebijakan tersebut terhadap berbagai hal termasuk pada bertambahnya kemacetan di Jakarta. Setiap kebijakan, terlebih di sebuah pemerintahan negara demokrasi, pasti akan dikaji, dikritisi, serta dinilai oleh masyarakatnya.

Alasan akan bertambahnya kemacetan sebetulnya hanya salah satu sisi dari kebijakan LCGC yang patut dipertanyakan. Masih ada sisi lain yang juga menarik dibedah untuk menilai layak tidaknya kebijakan tersebut diluncurkan. Penilaian ini hanyalah sebuah alternatif pemikiran sebab pada prinsipnya kebijakan pemerintah sangat terbuka untuk dinilai oleh masyarakat mengingat berbagai konsekuensi yang juga akan dirasakan masyarakat.

Soal pertama yang patut ditanyakan adalah apakah mobil murah sudah menjadi kebutuhan publik yang mendesak dipenuhi sehingga menjadi prioritas kebijakan? Apakah jika program LCGC tidak dikeluarkan akan terjadi kemudharatan yang dirasakan masyarakat? Ini merupakan pertanyaan mendasar yang layak diajukan dalam menilai sebuah kebijakan. Sebuah kebijakan idealnya dikeluarkan untuk menjawab persoalan publik atau didasarkan pada asas kebutuhan publik. Karena itulah pemerintah harus mampu mengidentifikasi persoalan publik secara baik serta menyusun prioritas kebijakan yang tepat sehingga tidak keliru dalam menerjemahkan hal-hal yang menjadi kebutuhan utama masyarakat.

Kedua, perlu kita cermati adanya paradoks kebijakan pemerintah. Di satu sisi pemerintah mengkampanyekan pembatasan konsumsi BBM setelah sebelumnya menggulirkan kebijakan pencabutan subsidi. Lalu tiba-tiba saja pemerintah menggulirkan program LCGC, sebuah kebijakan yang dilakukan secara sadar untuk meningkatkan pembelian masyarakat terhadap kendaraan. Padahal, dengan meningkatnya jumlah kendaraan maka konsumsi BBM juga akan meningkat. Jika suatu waktu konsumsi BBM sampai pada level yang tak bisa dikendalikan maka meningkatkan impor BBM menjadi pilihan akhir yang mungkin dilakukan. Ini berarti menambah tinggi defisit neraca perdagangan.

Ketiga, meningkatnya permintaan masyarakat terhadap mobil murah, selain akan meningkatkan konsumsi BBM, juga akan menyuburkan budaya konsumtif di masyarakat. Iming-iming mobil murah menjadi strategi ampuh mengubah gaya hidup menjadi lebih konsumtif. Ini menjadi semacam pengendali perilaku atau gaya hidup masyarakat agar sejalan dengan kepentingan pasar. Bagi kepentingan pemodal, keberadaan masyarakat konsumtif ini tentu disambut gembira karena menjadi pangsa pasar yang akan memberi lebih banyak keuntungan bagi mereka.

Dalam jangka panjang, ketika meningkatnya konsumsi masyarakat tidak diimbangi dengan investasi produk nasional, maka akan menyebabkan ketergantungan terhadap barang impor. Hal ini seperti yang terjadi dengan kasus kedelai impor dimana pemerintah belum benar-benar serius melaksanakan program budidaya kedelai sehingga ketergantungan kita terhadap kedelai impor menjadi sangat tinggi. 

Dalam konteks ini muncul pertanyaan: kepentingan siapakah sebetulnya yang sedang dibela pemerintah dengan hadirnya LCGC ini? Kepentingan masyarakat atau untuk merespon kepentingan pemodal?

Keempat, secara etis, mungkin akan kita maklumi jika LCGC yang diluncurkan tersebut merupakan produk bangsa sendiri. Kita akan memaknainya sebagai lecutan nasionalisme untuk menggairahkan kreativitas para pakar dan pengusaha dalam negeri dalam industri otomotif. Entah itu namanya mobil esemka atau apapun juga. Nyatanya, LCGC yang hadir bukanlah produk bangsa sendiri.

Kelima, kehadiran LCGC seakan menjadi bukti bahwa paradigma yang hendak dibangun pemerintah adalah menjadikan mobil sebagai indikator suksesnya masyarakat Indonesia. Semakin banyak mobil di jalanan, semakin menunjukkan masyarakat sudah mencapai taraf kemakmuran. Padahal, di Jepang, negara yang melemparkan berbagai produk kendaraan bermotor ke Indonesia, berlaku aturan yang “memaksa” warganya membatasi kepemilikan mobil dan lebih mengembangkan transportasi massal sebagai pilihan kebijakan.

Terakhir, saya ingin mengutip pernyataan Enrique Penalosa, mantan Walikota Bogota Kolombia, yang kini sering juga diekspose media massa. Ia berkata: “Kota yang maju bukan dilihat dari kondisi bahwa orang miskinnya bisa membeli mobil, melainkan ketika orang kayanya menggunakan transportasi publik.” Jika cara berfikir seperti itu yang kita anut, seharusnya pemerintah mendahulukan program pembenahan transportasi massal, bukan mendorong masyarakat membeli mobil dengan harga murah.

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger