Sebagaimana pengumuman Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dari 605.179 tenaga honorer Kategori 2 (K2) yang mengikuti seleksi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil), hanya 30% atau sekitar 200 ribu orang saja yang lulus dan akan berubah status menjadi CPNS. Baik tenaga honorer K2 yang lulus maupun yang tidak lulus seleksi CPNS, keduanya memerlukan penanganan lebih lanjut dari pemerintah supaya memberikan nilai tambah signifikan bagi kualitas birokrasi atau minimal tidak menjadi beban persoalan baru.
Bagi tenaga honorer K2 yang lulus seleksi CPNS, pemerintah perlu menyiapkan berbagai instrumen pendidikan dan pelatihan agar mereka memiliki kompetensi dan kinerja yang akan mendongkrak kualitas birokrasi. Karakteristik CPNS yang berasal dari tenaga honorer K2 tentu berbeda dengan mereka yang berasal dari rekrutmen umum. Tenaga honorer K2 telah merasakan hidup dalam birokrasi pemerintahan bertahun-tahun, mengadopsi budaya kerja yang terbangun di dalamnya, mengenali sisi positif dan negatif budaya birokrasi yang selama ini berkembang, bahkan mungkin memiliki mindset (pola pikir) yang sebangun dengan kultur birokrasi saat ini.
Interaksi yang begitu lama dalam birokrasi membuat mereka pasti mewarisi nilai positif maupun negatif dalam birokrasi. Mereka tidak memulai dari nol sehingga harus menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah. Dibanding CPNS dari sumber umum, mereka mungkin akan lebih susah diarahkan pada tata nilai baru sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang diusung dalam agenda reformasi birokrasi. Pola pikir dan pola tindak mereka sudah terbentuk. Khusus untuk tenaga honorer administrasi, mereka biasanya tidak memiliki kompetensi yang spesifik, sering hanya dipekerjakan menangani masalah-masalah yang tak memerlukan kompetensi khusus, sehingga ke depannya pemerintah perlu memetakan jalan agar mereka lebih fungsional.
Kritik atas pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS pernah mengemuka saat semua tenaga honorer diangkat menjadi CPNS tanpa melalui seleksi yang ketat. Kebijakan itu dianggap sebuah langkah mundur dan bertentangan dengan upaya menciptakan aparat birokrasi yang kompeten, profesional, dan berdaya saing karena merekrut sumber daya manusia tanpa kualifikasi yang jelas serta tanpa didasari analisis kebutuhan organisasi. Dibanding kebijakan tersebut, rekrutmen CPNS dari tenaga honorer K2 yang dilakukan baru-baru ini relatif lebih baik karena melalui seleksi berbasis passing grade dan tidak semua diakomodir menjadi CPNS.
Rekrutmen CPNS dari tenaga honorer melalui pintu seleksi itu sudah sesuai dengan teori organisasi yang menempatkan proses rekrutmen sebagai langkah awal yang penting dalam menentukan kualitas organisasi birokrasi di masa depan. Input SDM yang bagus menjadi modal awal penting bagi organisasi birokrasi. Langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi kompetensi masing-masing tenaga honorer K2 yang lulus tersebut sehingga bisa diketahui peta kompetensi awal. Selanjutnya, pemerintah perlu membangun sistem training and development yang mampu mengembangkan dan meningkatkan kompetensi mereka lalu menempatkan mereka dalam posisi pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya. Pendek kata, dari manapun sumbernya, baik umum maupun honorer, haruslah bisa ditingkatkan kapasitas dan kompetensinya agar bisa memenuhi kebutuhan organisasi birokrasi.
Bagaimana dengan tenaga honorer K2 yang tidak lulus seleksi CPNS? Berdasarkan UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang baru disahkan 15 Januari lalu, ke depannya tidak ada lagi istilah tenaga honorer. Pegawai pemerintah (Pegawai ASN) hanya terdiri dari PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Berbeda dengan PNS, PPPK melaksanakan tugas pemerintahan berdasarkan perjanjian kerja dan untuk jangka waktu tertentu. Dengan demikian, pilihan kebijakan terkait tenaga honorer K2 tak lulus CPNS yang mungkin tersedia hanya ada dua: mengangkat mereka sebagai PPPK atau memberhentikannya. Persoalannya, hingga sekarang, belum ada aturan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan PPPK sehingga untuk sementara waktu status dan masa depan tenaga honorer K2 tak lulus CPNS tidak jelas.
Gagasan mengkonversi tenaga honorer K2 menjadi PPPK juga perlu dianalisis lebih jauh. Pertama, terkait kemampuan keuangan instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk menggaji PPPK mengingat standar gajinya diperkirakan akan sama dengan gaji PNS. PPPK memang didesain sebagai tenaga profesional sehingga besaran gajinya juga tidak berbeda dengan PNS, kecuali dalam hal tunjangan pensiun. Setiap instansi tentunya harus mengukur kemampuan keuangannya masing-masing agar belanja pegawainya dalam batasan yang rasional. Apalagi bagi pemerintah daerah yang belanja pegawainya sudah melebihi 50% dari APBD.
Kedua, terkait spirit perbaikan SDM birokrasi yang diusung UU ASN yang pastinya akan tercermin juga dalam pengaturan soal PPPK. Karena UU ASN bertujuan menciptakan pegawai pemerintah profesional, maka aspek rekrutmen dan seleksi mestinya didesain agar menghasilkan calon pegawai dengan kualifikasi terbaik. Karena itu, rekrutmen PPPK dipastikan harus melalui seleksi ketat, minimal sama dengan CPNS. Berdasarkan hal itu, kebijakan mengkonversi langsung tenaga honorer K2 yang tak lulus CPNS menjadi PPPK tanpa seleksi jelas-jelas bertentangan dengan tujuan hadirnya UU ASN.
Bila kepentingan organisasi birokrasi yang dikedepankan, menurut saya, tidak ada pilihan lain kecuali memberikan kesempatan kepada tenaga honorer K2 yang tak lulus seleksi CPNS untuk mengikuti seleksi PPPK sesuai standar yang nantinya ditetapkan pemerintah. Pasti tidak semua terakomodir, hanya mereka yang lulus seleksi yang bisa diangkat menjadi PPPK. Dan bagi mereka yang tidak terseleksi menjadi PPPK, pilihan pahitnya memang berupa pemberhentian, sebab sejauh ini belum ada dasar hukum penggajian yang menggunakan APBN dan APBD kecuali bagi PNS dan PPPK.
Agenda reformasi birokrasi yang kini sedang bergulir memang mengarah pada perbaikan kualitas. Sudah sering kita dengar bahwa kondisi aparat birokrasi sekarang itu kaya jumlah tapi miskin fungsi. Tugas pemerintahlah untuk membenahinya dengan segala resiko yang akan dihadapi. Kalau tidak sekarang, mau kapan lagi?.
(Dimuat Harian Lampung Post, 17 Februari 2014)
Comments
Post a Comment