Skip to main content

Gerakan Hidup Sederhana



Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN & RB) menerbitkan dua surat edaran yang kini sedang hangat diperbincangkan di kalangan para pegawai negeri sipil (PNS). Pertama, Surat Edaran nomor 11 tahun 2014 tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor. Kedua, Surat Edaran nomor 13 tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana. Didalam Surat Edaran pertama,  Menteri PAN & RB memerintahkan seluruh instansi pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan pertemuan termasuk rapat dan Focuss Group Discussion (FGD) di lingkungan instansi masing-masing, kecuali pertemuan yang melibatkan peserta dalam jumlah besar dan tidak dapat ditampung oleh fasilitas milik instansi pemerintah tersebut. Surat edaran yang kedua berisi dorongan kepada penyelenggara negara untuk hidup sederhana dengan langkah konkret berupa pembatasan undangan resepsi maksimal 400 undangan, membatasi jumlah pesertanya tak lebih dari 1000 orang, tidak memberikan karangan bunga kepada atasan atau sesama pejabat pemerintahan, serta membatasi publikasi advertorial yang menggunakan biaya tinggi.
Larangan melakukan rapat di hotel sangat terasa bagi para PNS di instansi pemerintah yang terbiasa melakukannya seperti kementerian dan lembaga di tingkat pusat yang berkantor di Jakarta. Dengan nada bercanda, beberapa teman PNS di kementerian mengatakan larangan tersebut akan mengurangi jumlah penghasilan yang didapat dari honorarium rapat serta mengurangi peluang perbaikan gizi. Adapun PNS daerah, apalagi diluar Jawa, rapat atau pertemuan di hotel bisa dibilang jarang atau malah tidak pernah dilakukan, kecuali untuk acara besar yang memang secara teknis tidak mungkin dilakukan di perkantoran karena ketidaktersediaan tempat. Jadi ketika larangan rapat di hotel itu muncul, banyak PNS yang merasa bahwa itu bukan ditujukan bagi mereka. Secara pribadi saya menduga bahwa larangan kegiatan di luar instansi ini memang utamanya ditujukan bagi kementerian dan lembaga di tingkat pusat yang secara nyata sudah terbiasa melakukan rapat dan pertemuan lainnya di hotel.
Adapun surat edaran kedua tentang gerakan hidup sederhana, banyak PNS yang mempertanyakan poin pertama dari surat edaran tersebut yaitu tentang pembatasan undangan resepsi seperti pernikahan, tasyakuran, atau acara sejenis lainnya dengan batas maksimal 400 undangan serta peserta undangan tak lebih dari 1000 orang. Pengaturan soal hidup sederhana yang menyasar hingga ke persoalan acara resepsi pernikahan dirasa terlalu berlebihan. Jumlah 400 undangan dan jumlah 1000 peserta undangan juga tidak dapat begitu saja dikategorikan sebagai acara resepsi yang mewah atau tidak mewah. Toh, jika disiasati, bisa saja acara resepsinya dilakukan beberapa kali dengan peserta terbatas dari mulai resepsi umum dengan peserta kalangan umum hingga resepsi khusus yang hanya dihadiri kalangan atas semisal para pejabat pemerintahan.
Keheranan PNS terhadap Surat Edaran Gerakan Hidup Sederhana dari Kemenpan & RB juga muncul karena banyak PNS yang merasa bahwa gaji pokok dan tunjangan yang mereka terima tidaklah cukup untuk menikmati gaya hidup mewah. Boro-boro menikmati hidup dalam kemewahan, bisa memiliki rumah melalui kredit perbankan hingga dua puluhan tahun saja sudah hal yang patut disyukuri. Ada semacam perasaan bahwa surat edaran tersebut mungkin tidak tepat apabila ditujukan kepada seluruh pegawai negeri. Edaran tersebut hanya tepat bila dialamatkan kepada para penyelenggara negara pada level tertentu baik pejabat karir maupun pejabat politik karena jumlah penghasilan yang lebih tinggi serta akses mereka terhadap sumber dana juga terbuka lebar sehingga bisa menyelenggarakan acara resepsi secara mewah. Barangkali, salah satu contoh yang masih kita ingat adalah resepsi pernikahan anak sekretaris Hakim Agung Nurhadi pada Maret 2014 lalu yang diperkirakan menghabiskan dana Rp 43 milliar dimana setiap tamu undangan mendapatkan souvenir pernikahan berupa iPod seharga 700-an ribu rupiah.
Bila dicermati, poin-poin dari surat edaran tentang gerakan hidup sederhana ini saling berkaitan dan lagi-lagi saya melihatnya sebagai arahan yang terutama ditujukan bagi para pejabat tinggi penyelenggara pemerintahan. Poin pertama tentang pembatasan jumlah undangan resepsi berkaitan dengan poin larangan memberikan karangan bunga kepada atasan atau sesama pejabat pemerintahan serta pembatasan publikasi advertorial. Prakteknya kira-kira begini: ketika seorang pejabat tinggi pemerintah menggelar resepsi pernikahan anak atau syukuran lain, biasanya bermunculan karangan bunga termasuk dari para bawahan atau pejabat selevel dari lintas instansi. Beberapa teman PNS kementerian mengatakan bahwa seringkali dana untuk karangan bunga tersebut diambil dari anggaran kantor. Setelah itu, muncul pula advertorial berupa ucapan selamat di media massa dari pejabat pemerintahan lain yang mungkin juga menggunakan anggaran kantor. Seorang teman mengatakan, dengan munculnya larangan ini, bisa menjadi alasan kuat bagi PNS untuk menghentikan kebiasaan atau “kewajiban” mengucapkan selamat melalui karangan bunga dan media massa kepada pejabat tinggi yang baru dilantik di instansinya seperti Kepala Lembaga, Kepala Kejaksaan, Kepala Pengadilan, atau lembaga apapun.
Baik surat edaran tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor maupun Surat Edaran nomor 13 tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana, keduanya jelas bertujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Yang jadi pertanyaan, bagaimana agar kedua surat edaran tersebut bisa dijalankan secara efektif? Menurut saya, semua harus dimulai dari tingkat atas melalui keteladanan. Yang kita ubah ini soal gaya hidup serta kebiasaan yang sudah cukup mengakar dalam dunia birokrasi baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Presiden Jokowi harus secara konsisten dan persisten memberikan contoh tentang bagaimana menjadi pemimpin yang sederhana. Begitu pula para menteri dan para kepala lembaga pemerintah di tingkat pusat. Ada banyak anjuran hidup sederhana yang gagal dilaksanakan karena para pejabat tinggi pemerintahan hanya menjadi yang pertama menganjurkan tapi tidak menjadi orang pertama dan terdepan dalam melaksanakannya.
Wallohu a’lam bisshowab.
Bandar Lampung, 1 Desember 2014

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger