Berdasarkan
Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, pemerintah pusat dan daerah menyelenggarakan
pemberdayaan masyarakat desa dengan pendampingan secara berjenjang sesuai
kebutuhan. Pendampingan desa, menurut Peraturan Menteri Desa nomor 3 tahun
2015, dimaknai sebagai kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan
masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi desa.
Secara teknis, di pasal 128 PP 43 tahun 2014 disebutkan bahwa pendampingan
masyarakat desa dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota
dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan
masyarakat desa, dan atau pihak ketiga.
Didalam
Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 2015 tentang perubahan atas PP 43 tahun
2014 dijelaskan bahwa tenaga pendamping profesional terdiri atas tenaga
pendamping lokal desa, tenaga pendamping desa yang bertugas di kecamatan,
tenaga pendamping teknis yang bertugas di kecamatan, dan tenaga ahli
pemberdayaan masyarakat desa yang bertugas meningkatkan kapasitas tenaga
pendamping dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan
pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat
desa. Adapun kader pemberdayaan masyarakat desa berasal dari unsur masyarakat
yang dipilih oleh desa untuk menumbuhkan dan mengembangkan serta menggerakkan
prakarsa, partisipasi, dan swadaya gotong royong.
Untuk
Lampung, rekrutmen tenaga pendamping desa dilakukan oleh Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Lampung yang prosesnya telah dimulai
Bulan Agustus lalu. Tenaga pendamping yang direkrut terdiri dari 28 tenaga ahli
tingkat kabupaten, 241 orang pendamping desa di kecamatan, dan 891 orang
pendamping lokal di desa. Sampai tulisan ini dibuat, pengumuman nama tenaga
pendamping desa hasil rekrutmen tersebut belum diketahui.
Mengapa
perlu pendamping desa? apakah keberadaan unsur pemerintahan di tingkat
kecamatan belum cukup berdaya melaksanakan program pendampingan desa? saya
mencoba memahaminya dari dua hal: pertama, konsep membangun dari
pinggiran yang spiritnya dibawa oleh UU Desa, memerlukan kehadiran orang-orang
yang bisa membantu warga desa mengubah pola pikir dan pola tindak dalam
membangun desa. Mereka menjadi semacam katalisator yang akan mempercepat
perubahan paradigma aparat desa dalam pembangunan dari model top down ke
bottom up. Kedua, perhatian pemerintah kepada PNS di kecamatan
sangat minimalis bahkan ada ada anggapan bahwa pegawai yang ditugaskan di
kecamatan adalah pegawai kelas 2. Ekspektasi kepada unsur pemerintah kecamatan
untuk bisa melakukan pendampingan desa bisa dikatakan rendah, baik karena
kuantitas maupun kualitas SDM-nya. Karenanya, pilihan kebijakan merekrut tenaga
pendamping desa lebih dipioritaskan daripada pilihan meningkatkan kompetensi
dan kualitas SDM kecamatan.
Ada
beberapa catatan lain yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan tenaga
pendamping desa ini. Pertama, saya ingin menggarisbawahi kata “dapat
dibantu” dan “sesuai kebutuhan” yang tertera di PP 43 tahun 2014. Menurut saya,
kata-kata tersebut memberi arahan yang sudah jelas bahwa pemanfaatan tenaga
pendamping profesional adalah suatu kebolehan, bukan kewajiban. Karena sifatnya
boleh, bukan wajib, maka kebijakan merekrut tenaga pendamping profesional ini
haruslah berpijak pada analisis kondisi sebuah daerah baik aspek SDM, luas
wilayah, jumlah penduduk, dan serta kondisi struktur organisasi pemerintah
daerah di tingkat kecamatan. Kalau hasil kajian memang dibutuhkan adanya
pendamping profesional, maka pemerintah daerah boleh merekrut tenaga pendamping
profesional dalam jumlah yang diperkirakan sebanding dengan cakupan wilayah
kerja. Untuk pendamping lokal desa misalnya, bisa 1 desa 1 pendamping, atau 1
pendamping mendampingi beberapa desa yang berdekatan secara geografis. Efektivitas
dan efisiensi menjadi kata kunci utama dalam mengkalkulasi kebutuhan tenaga
pendamping profesional ini.
Kondisi
struktur pemerintahan tingkat kecamatan seharusnya menjadi salah satu faktor
pertimbangan dalam menyusun kebutuhan tenaga pendamping desa. Untuk desa-desa
di wilayah kecamatan yang struktur pemerintahannya berjalan sangat baik, maka
jumlah pendamping desa yang diperlukan mungkin lebih sedikit daripada di
kecamatan yang kurang baik. Kategorisasi pemerintahan kecamatan ini misalnya bisa
dilihat dari keaktifan, jumlah dan kualifikasi SDM serta ketersediaan fasilitas
kantor yang memadai.
Jika
pertimbangan kondisi pemerintahan di kecamatan ini diabaikan dalam rekrutmen
tenaga pendamping desa, ada potensi inefisiensi anggaran yang terjadi. Kita
merekrut 1 pendamping lokal per 1 desa misalnya, padahal di kecamatan yang kondisi
pemerintahan kecamatannya sangat baik bisa jadi hanya perlu 1 pendamping lokal
untuk 3 desa. Anggaran sisanya bisa digunakan untuk program pelatihan dan
pengembangan kompetensi aparat kecamatan dan para pendamping desa tersebut.
Hemat saya, sebelum memutuskan merekrut tenaga profesional pendamping desa
dalam jumlah yang banyak, sebaiknya kita perkuat peran pejabat struktural di
kecamatan sebagai garda terdepan pemerintah daerah yang berhubungan langsung
dengan pemerintahan desa.
Kedua,
kalaupun dilakukan rekrutmen tenaga pendamping desa, maka tugas dan tanggung
jawabnya harus sangat jelas, tidak tumpang tindih dengan tugas pokok dan fungsi
pejabat struktural yang ada di kecamatan yang menangani bidang pemerintahan dan
pemberdayaan masyarakat desa. Potensi tumpang tindih tugas antara pendamping
desa (terutama pendamping lokal desa dan yang berkedudukan di kecamatan) dengan
pejabat struktural kecamatan bisa saja terjadi dan menimbulkan kekikukan dalam
pelaksanaannya, apalagi jika tidak dibarengi dengan kejelasan pola koordinasi
antara pendamping desa dengan pejabat struktural kecamatan. Memang betul bahwa
PP 43 tahun 2014 mengamanahkan Camat melakukan koordinasi pendampingan
masyarakat desa di wilayahnya, namun menurut saya harus disiapkan perangkat
aturan teknis mengenai pola kerja dan pola koordinasi pendamping desa dengan
kecamatan supaya berjalan sinergi.
Ketiga,
kehadiran pendamping desa profesional sebaiknya bukanlah permanen.
Keberadaannya disesuaikan dengan pencapaian target yang ditetapkan di sebuah
desa. Jika dalam beberapa tahun sebuah desa bisa menunjukkan kemandirian dalam
melaksanakan pembangunan sesuai amanat UU Desa, maka tenaga pendamping desa
tidak lagi diperlukan. Dalam 2 tahun pertama ini misalnya, kita fokuskan pada
kemampuan aparat desa menyusun dokumen perencanaan pembangunan desa (RPJMDes,
RKPDes, APBDes) serta prosedur pelaksanaan program pembangunan desa. Tugas
pendamping desa bukanlah kemudian membuatkan dokumen-dokumen tersebut sekaligus
laporan pertanggungjawabannya yang bersifat adminsitratif, tetapi melatih
aparat desa agar mereka mampu membuat dokumen tersebut secara mandiri.
Seiring
berjalannya waktu dan meningkatnya kompetensi aparat desa dalam menjalankan
amanat UU Desa, maka jumlah pendamping desa juga mulai dikurangi sampai pada
titik efektivitas dan efisiensi. Di tahun-tahun berikutnya, dengan asumsi adanya
upaya peningkatan kompetensi aparat pemerintahan di kecamatan serta reformasi
birokrasi berjalan baik, asistensi cukup dilakukan oleh pejabat pemerintah di
tingkat kecamatan dan cukup melibatkan sedikit saja tenaga pendamping
profesional desa di tingkat kecamatan.
Bandar Lampung, 5 September 2015
Comments
Post a Comment