Ketika pertama kali saya bertatap muka dengan para Pendamping Lokal Desa
di wilayah kecamatan tempat saya bertugas, pertanyaan yang saya sampaikan pada
mereka adalah apa tugas pokok dari pendamping desa dan pendamping lokal desa?
apa indikator kinerja yang ditetapkan Kementerian Desa bagi para pendamping?
Berapa lama para pendamping melaksanakan tugasnya? Tugas pendamping, kata
mereka, adalah mendampingi masyarakat desa dalam melaksanakan amanat
Undang-Undang nomor 6 tentang Desa (UU Desa), memastikan implementasi UU Desa
sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah pusat, dan menjadi “penunjuk arah”
pelaksanaan UU Desa. Mereka harus mendampingi warga dalam melakukan musyawarah
desa, merumuskan program desa, menyusun dokumen perencanaan desa, dan
melaksanakan program desa. Mereka mendapat surat penugasan untuk 1 bulan yang
akan dievaluasi di bulan berikutnya. Dalam 1 bulan itu mereka ditargetkan bisa
mendampingi desa menyusun dokumen RPJMDes, RKPDes, dan APBDes. Ketiga dokumen
itu ditargetkan selesai dalam 1 bulan penugasan mereka.
Jawaban pendamping lokal desa tersebut membuat saya takjub. Pertama, saya
takjub dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT)
yang punya metode rekrutmen jitu hingga bisa menciptakan tenaga pendamping desa
dan lokal desa yang meski baru 2 bulanan direkrut diyakini bisa menguasai
hal-hal teknis implementasi UU Desa dan dibebani target mendampingi penyusunan RPJMDes,
RKPDes, dan APBDes hanya dalam waktu 1 bulan. Padahal, aturan teknis dari UU
Desa itu sendiri masih ada yang belum tuntas dibuat. Kedua, saya takjub dengan
“keberanian” pendamping desa tersebut menerima tantangan Kementerian Desa dalam
mengejar target kinerja dalam 1 bulan tersebut. Terlebih jika melihat fakta
masih belum lengkapnya aturan teknis pelaksanaan UU Desa serta adanya aturan teknis
yang masih belum klop antara produk Kementerian Desa PDTT dengan Kementerian
Dalam Negeri.
Terkait target ataupun indikator kinerja pendamping desa saya punya
catatan tersendiri. Menurut saya, tersusunnya dokumen RPJMDes, RKPDes, dan
APBDes semua desa dalam 1 bulan tidak tepat menjadi indikator kinerja dari
pendamping lokal desa. Mungkin bisa menjadi indikator proxy, tetapi bukan indikator
utama. Indikator kinerja utama seharusnya diselaraskan dengan tupoksi
pendamping desa. Sebagai contoh, jika pendampingan dijabarkan dalam konteks
pemberdayaan, maka indikator kinerja yang digunakan adalah ada tidaknya
peningkatan kemampuan aparat pemerintah desa dalam menyusun dokumen perencanaan
desa (APBDes dan lain-lain) secara mandiri baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Dengan indikator seperti itu, pendampingan dinilai berhasil
apabila aparat pemerintah desa bisa menjalankan proses perencanaan program dari
tahap awal hingga akhir secara mandiri sesuai alur serta pedoman yang
ditetapkan pemerintah pusat.
Kalau yang dijadikan indikator adalah tersusunnya dokumen RPJMDes,
RKPDes, dan RKPDes setiap desa tanpa melihat apakah proses pembuatannya
dilakukan secara mandiri dan partisipatif oleh aparat pemerintah desa atau
tidak, saya khawatir orientasinya pada hasil belaka dan bukan pada proses. Yang
penting semua dokumen tersebut jadi dibuat. Dan karena tuntutan target,
pendamping desa bisa jadi terfikir melakukan cara apapun supaya dokumen
perencanaan desa cepat selesai. Misalnya dengan membuatkan semua dokumen
perencanaan desa di tempat mereka bertugas sehingga isinya hampir sama di semua
desa. Memborongkan pembuatan dokumen perencanaan desa tersebut memang lebih
“gampang” dibanding melakukan proses pendampingan yang membutuhkan waktu dan
kesabaran berlipat ganda. Sayangnya, hal tersebut berlawanan dengan semangat
yang dibawa UU Desa yang mendorong terjadinya proses belajar oleh aparat
pemerintahan desa dan warga desa dalam menyusun dan melaksanakan program berskala
lokal desa.
Sejauh pengamatan dan pengalaman penulis, langkah membuatkan dokumen
perencanaan desa oleh pendamping desa memang riil terjadi. Bahkan disinyalir
menjadi proyek oknum pendamping desa untuk menambah penghasilan. Ini
jelas-jelas tak sejalan dengan filosofi pendampingan yang disampaikan
Kementerian Desa PDTT sebagaimana dipaparkan di laman website kementerian.
Penyusunan dokumen perencanaan merupakan salahsatu tugas dan tanggung jawab
dari pemerintah desa, bukan tugas pendamping desa. Tugas pendamping desa ialah
mendampingi proses penyusunan dokumen tersebut serta memfasilitasi proses
belajar aparat pemerintah desa supaya mandiri. Pendamping desa berdiri sejajar
dengan aparat pemerintah desa. Tidak mendikte, mengendalikan, atau membuat
warga desa selalu bergantung pada mereka.
Merujuk pada UU Desa, sebetulnya tidak ada pasal yang secara khusus
membicarakan soal pendampingan desa. Tetapi di peraturan turunannya yakni Peraturan
Pemerintah nomor 43 tahun 2014 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah
nomor 47 tahun 2015, pasal pendampingan desa tersebut muncul. Menurut Sosiolog
IPB Ivanovich Agusta, munculnya pasal pendampingan tersebut mengembalikan peran
pendamping sebagai penjaga kebijakan pemerintah pusat di lapangan. Berkaca dari
pengalaman program pemberdayaan era 1998-2014, kehadiran pendamping PNPM
dinilai meminggirkan peran pemerintah desa dan secara tidak langsung berkuasa
menjadi wakil pemilik dana pemberdayaan. Peluang terulangnya pola seperti itu
tentu layak menjadi catatan kita bersama.
Dari perspektif kebijakan, program pendampingan desa ini merupakan instrumen
yang digunakan dalam monitoring implementasi kebijakan UU Desa. Pendamping desa
ditempatkan sebagai agen pemerintah pusat untuk memastikan tidak ada desa yang
melenceng dari jalur dalam mengelola dana desa dan dalam melaksanakan amanat UU
Desa secara keseluruhan. Pendamping desa menjadi mata, mulut, dan telinga
pemerintah pusat guna memandori langsung pelaksanaan UU Desa di setiap desa.
Digelarnya program pendampingan desa ini bisa dimaklumi apabila melihat
tipikal kebijakan yang dibawa UU Desa. Pertama, UU Desa jelas berisi kebijakan
baru yang progresif. Pemerintah desa diberikan wewenang dan uang guna mengatur
urusan berskala lokal desa. Mereka diakui sebagai lembaga pemerintahan terbawah
yang diberikan otonomi skala lokal desa. Kedua, desa sebagai unit pelaksana
kebijakan jumlahnya banyak sehingga perlu lebih banyak sumber daya untuk
mengawasinya. Ketiga, waktu untuk mensosialisasikan UU Desa dan aturan
turunannya sangat singkat sehingga transfer wawasan ke tingkat desa mungkin
memakan waktu lama dan tidak maksimal. Keempat, peran pendampingan yang
semestinya bisa diperankan oleh pemerintah kabupaten dan tingkat kecamatan
belum bisa diandalkan baik karena kualitas maupun kuantitas SDM. Kelima, SDM di
desa dipandang belum memadai untuk menyerap wawasan dan keterampilan perihal
pelaksanaan UU Desa secara cepat.
Pertanyaannya adalah apakah program pendampingan desa yang dikemas
Kementerian Desa PDTT ini memang harus berjalan selamanya atau cukup sementara
saja? Saya cenderung dengan pilihan ke-2 yakni program pendampingan desa
bersifat sementara. Alasan pertama, sepanjang UU Desa masih berlaku, semua desa
akan menerima dana desa setiap tahun secara rutin dan mengerjakan tugas-tugas
administratif yang dibebankan. Jika pada tahap-tahap awal aparat desa masih
terbata-bata dengan pengadministrasian program dan keuangan desa dapatlah kita
maklumi. Tetapi, kondisi itu mungkin terlewati setelah 5 tahun pelaksanaan UU
Desa. Bisa karena biasa. Aparat desa pasti mendapat pembelajaran dan pengalaman
selama lima tahun anggaran yang terlewati sehingga proses pendampingan tidak usah
seketat di tahap awal pelaksanaan UU Desa.
Kedua, bukankah target pendampingan desa adalah supaya aparat desa bisa
mandiri dalam mengelola program, keuangan, serta pengadministrasian desa? Maka
jika target tersebut terlampaui, pendampingan desa mesti dikendorkan, kalaupun
tak benar-benar dihilangkan. Jika pendamping desa kemasan Kementerian Desa PDTT
terus dilaksanakan permanen, saya khawatir para pendamping desa malah
kebablasan mengambil peran aparat pemerintah desa dalam menyusun program
pembangunan desa seperti contoh masalah yang pernah terjadi pada program PNPM.
Pendamping desa adalah “orang luar” yang harus menghormati otoritas aparat desa
mengelola pembangunan desa dan jangan sampai berubah wujud jadi “orang dalam” yang
kemudian mengendalikan program di desa.
Alasan ketiga, selain soal besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah
pusat untuk program pendampingan desa, kehadiran pendamping desa juga menambah
jaring birokrasi baru yang tentu harus menemukan bentuk koordinasi yang tepat
dengan pemerintah daerah hingga tingkat kecamatan. Sementara kita berharap ada
penyederhanaan birokrasi dalam pengorganisasian pelaksanaan UU Desa.
Menurut saya, program pendampingan desa yang dikemas Kementerian Desa
PDTT sebaiknya dibatasi sampai 5 tahun saja. Dengan asumsi adanya transfer
pengetahuan yang berjalan ideal dari pendamping desa kepada aparat desa, dalam
5 tahun tersebut aparat desa bisa mandiri dalam menyusun dokumen perencanaan
dan beragam dokumen administrasi lainnya. Di saat bersamaan, kita memperkuat
SDM di pemerintah kabupaten pada satuan kerja yang khusus menagani pemerintahan
desa. Penguatan SDM juga dilakukan pada aparat kecamatan agar bisa maksimal
dalam melakukan pembinaan pemerintah desa. Dan jika memungkinkan, sebaiknya
mulai disusun pengadaan PNS tenaga fungsional pendamping desa untuk mendampingi
desa setelah program pendampingan desa dari Kementerian Desa selesai. PNS
fungsional inilah yang nantinya mendampingi aparat desa dan wajib melayani
warga desa kapanpun dibutuhkan.
(Dimuat Harian Lampung Post, 9 Juni 2016)
(Dimuat Harian Lampung Post, 9 Juni 2016)
Comments
Post a Comment