Skip to main content

Evolusi Birokrasi Pemda


Agenda penyederhanaan birokrasi yang dilaksanakan di seluruh instansi pemerintah kini memasuki tahap ke-3 atau tahap terakhir. Setelah sebelumnya melakukan penyederhanaan struktur organisasi serta mengalihkan jabatan struktural ke fungsional, pemerintah pusat mulai mengatur sistem kerja baru sebagai wujud penyesuaian dengan dua agenda sebelumnya. Melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi nomor 7 tahun 2022, pemerintah pusat mengatur sistem kerja instansi pemerintah untuk penyederhanaan birokrasi. Pengaturan sistem kerja baru ini merupakan satu keniscayaan supaya mesin birokrasi yang sudah disetel ulang melalui perubahan struktur dan perubahan status jabatan pegawai negeri sipil ini bekerja dengan efektif dan efisien.

Secara umum penyesuaian sistem kerja yang diatur Permenpan RB 7 tahun 2022 tersebut mencakup mekanisme kerja dan proses bisnis. Mekanisme kerja bicara soal kedudukan pejabat fungsional dan pelaksana, model penugasan, pelaksanaan tugas, pertanggungjawaban pelaksanaan tugas, pengelolaan kinerja serta pemanfaatan teknologi informasi. Sedangkan soal proses bisnis bicara mengenai hubungan kerja yang efektif dan efisien antar setiap unit organisasi. Sistem kerja tersebut diarahkan supaya instansi pemerintah berorientasi pada hasil, efisien, taktis, dan tidak melalui proses disposisi berjenjang yang bertele-tele.

Jika melihat pelaksanaan 2 tahapan penyederhanaan birokrasi di instansi pemerintah daerah, yakni penyederhanaan struktur dan pengalihan pejabat struktural ke fungsional, prosesnya bisa dibilang terlambat. Dua tahapan tersebut sudah berjalan sejak awal 2020 di instansi pusat dan baru bisa dieksekusi di mayoritas instansi pemerintah daerah pada 31 Desember 2021. Bahkan hingga kini masih ada instansi pemerintah daerah yang belum melaksanakan agenda tersebut. Selain karena prosesnya tidak sederhana, adanya resistensi yang laten dari dalam birokrasi, kurang kuatnya desakan penyederhanaan birokrasi pada awal-awal agenda tersebut bergulir, serta terbatasnya kemampuan daerah dalam mengeksekusi kebijakan tersebut juga menjadi persoalan yang membayangi.

Banyak instansi pemerintah daerah yang kemudian melakukan eksekusi kebijakan penyederhanaan struktur organisasi dan pengalihan jabatan struktural ke fungsional pada hari terakhir batas waktu yang ditetapkan pemerintah pusat yakni 31 Desember 2021. Bahkan ada yang melakukan pelantikan pejabat fungsional menjelang tengah malam pergantian tahun. Delay kebijakan seperti ini tentu saja bukan kabar menggembirakan sebab akan berpengaruh pada keterlambatan capaian reformasi birokrasi secara kesuluruhan. Lebih jauh lagi akan berpengaruh pada transformasi layanan birokrasi yang lebih baik.

Lantas, setelah 2 tahap penyederhanaan birokrasi dilaksanakan dan pedoman sistem kerja baru instansi pemerintah diterbitkan, seberapa cepat adaptasi yang bisa dilakukan oleh instansi pemerintah daerah supaya wujud birokrasi yang gesit dan lincah sebagai tujuan penyederhanaan birokrasi bisa segera terealisir? Apakah dalam satu atau dua tahun ini akan terlihat dampak positif penyederhanaan birokrasi yang bisa dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk meningkatnya kualitas layanan publik? Dua pertanyaan ini barangkali bisa menjadi kunci bagi para kepala daerah untuk memimpin dan memonitor pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah masing-masing supaya lebih terarah dan dampak positifnya bisa segera dirasakan.

Setidaknya ada 4 agenda lanjutan yang harus dilakukan pemerintah daerah guna mempercepat transisi di birokrasi. Pertama, menyusun pedoman yang mengatur dan secara teknis bisa mengarahkan pola pikir dan pola kerja pegawai yang sejalan dengan sistem kerja baru. Kedua, secara intensif melakukan perubahan mindset para pejabat pimpinan tinggi hingga pelaksana supaya menerima dan membiasakan diri dengan sistem kerja baru yang lebih berorientasi pada pencapaian kinerja dan memangkas hirarki penugasan. Ketiga, memotivasi ASN untuk secara individual melakukan percepatan penyesuaian dengan sistem kerja baru. Langkah teknisnya bisa dengan melakukan percontohan praktek sistem kerja baru yang kolaboratif di beberapa perangkat daerah serta pemberian insentif berbasis kinerja. Keempat, mendorong percepatan implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) sebagai salah satu intrumen akselerasi reformasi birokrasi.

Selain itu, pemerintah daerah juga harus mengantisipasi adanya dampak yang tak diinginkan dari penyederhanaan birokrasi (unintended consequences). Diantara yang paling menonjol dirasakan saat ini adalah adanya culture shock alias gegar budaya pada para pejabat fungsional yang baru saja dialihkan dari status sebagai pejabat struktural. Kegalauan melanda setelah masing-masing mempelajari uraian tugas jabatan barunya yang mensyaratkan lingkungan kerja berbeda dibanding era struktural baik soal perencanaan kerja, pelibatan dan penugasan, serta penilaian kinerja. Di struktural, pegawai terbiasa menjadi generalis dan mengerjakan semua hal termasuk perintah atasan lainnya yang kadang tak terlalu berhubungan dengan uraian tugas jabatan. Di fungsional, mereka dituntut menjadi spesialis pada bidang tertentu sesuai rincian tugas fungsionalnya, lebih proaktif dan kreatif dalam merencanakan kinerja individual.

Jalan tengah yang dilakukan pemerintah daerah di tahun 2022 ini ialah dengan menautkan peran koordinasi pada setiap pejabat fungsional hasil penyetaraan jabatan. Setahun ini dianggap masa adaptasi baik bagi pejabat fungsional maupun struktural. Tapi menurut saya pola itu bisa berubah menjadi jebakan yang secara mental bakal mengkondisikan para fungsional susah move on. Tanpa diimbangi aksi nyata percepatan transisi jabatan, para fungsional akan susah menjadi spesialis apalagi terpacu mengasah kompetensi teknis sesuai substansi jabatan fungsionalnya. Di tahun 2022 ini, pemerintah daerah harus mampu memaksa pegawai fungsional dan lingkungan kerjanya menjalankan sistem kerja baru sesuai Permenpan RB 7 Tahun 2022, melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis intensif soal seluk beluk pekerjaan jabatan fungsional, atau jika memungkinkan membuat program magang kerja untuk fungsional di instansi pemerintah lain yang sudah terlebih dahulu menerapkannya.

Dampak tak diharapkan lainnya soal potensi membengkaknya anggaran belanja pegawai guna menutupi besaran tunjangan pejabat fungsional baik yang melekat pada gaji pokok maupun tambahan penghasilan pegawai dari APBD. Penyederhanaan birokrasi melalui pemangkasan satu atau dua level jabatan dan penyetaraan jabatan adalah langkah yang benar. Tapi dari perspektif anggaran, belum tentu efisien. Sisi lain, pemerintah pusat melalui Permenpan 17 tahun 2021 sudah menetapkan ketentuan bahwa penghasilan pejabat fungsional hasil penyetaraan tak boleh kurang dari yang diperoleh semasa menjabat sebagai struktural. Disinilah perlu kecakapan pemerintah daerah untuk mengkalkulasi keuangannya dengan mempertimbangkan banyak variabel: output kinerja, analisa jabatan dan beban kerja, serta ketersediaan anggaran.

 Apakah birokrasi pemerintah daerah akan sukses berevolusi menjadi organisasi yang lincah (agile), efektif dan efisien? Beberapa teman sesama PNS pemerintah daerah meragukannya. Sebagian menganggap kebijakan penyederhanaan birokrasi ini akan berubah setelah satu atau dua tahun ke depan bila hasil evaluasi menyimpulkan pemda tidak siap. Hemat saya, berbagai keraguan itu harus dijawab pemerintah dengan menghadirkan visi yang jelas tentang masa depan PNS pasca penyederhanaan birokrasi. Orang akan bersuka cita menyambut perubahan ketika yakin akan adanya kehidupan yang lebih baik dibalik perubahan itu. Minimal ada visi yang jelas tentang meritokrasi dan kesejahteraan pegawai.

(Dimuat Lampung Post, Jumat, 8 April 2022. Tulisan asli sebelum diedit redaksi.)



Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger