Skip to main content

Transformasi Digital Birokrasi dan Shadow Organization

 

Pernyataan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim soal adanya “shadow organization” di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menuai pro kontra. Pihak yang kontra mempersoalkan eksistensi organisasi bayangan tersebut baik dari sisi alasan pembentukan, peran, kewenangan, serta pola hubungan kerja dengan pegawai ASN yang sudah mapan di instansi Kemendikbud Ristek. Sebagian orang menganggap kehadiran organisasi bayangan akan tumpang tindih dengan peran ASN yang sudah ada. Tak sedikit juga yang menilai hadirnya organisasi bayangan sebagai bentuk nyata kegagalan reformasi birokrasi. Sementara pihak yang mendukung berpendapat bahwa itu cara cepat Mas Menteri untuk merealisasikan transformasi digital di Kemendikbud Ristek yang sepertinya lebih susah terlaksana jika hanya mengandalkan tenaga ASN. Tulisan ini dibuat untuk memperkaya sudut pandang supaya diskusi atas persoalan tersebut kian bernas.

Menurut Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Prof Nizam, seperti dikutip kompas.com, organisasi bayangan yang dimaksud Mas Menteri merupakan tim teknologi informasi (IT) dibawah unit pusat data dan informasi (Pusdatin) sekretariat jendral Kemendikbud Ristek. Tim tersebut terdiri dari para ahli yang bertugas mengembangkan platform. Mereka berkolaborasi dengan tim Kemendikbud Ristek dalam pelaksanaan riset, pematangan konsep, pengembangan produk teknologi dan optimalisasi pemanfaatan layanan digital tersebut. Hasil kolaborasi tersebut bisa dilihat dari berbagai aplikasi yang dihasilkan seperti Platform Merdeka Mengajar, Rapor Pendidikan, RKAS, SIPlah, dan TanyaBOS.  Platform Merdeka Mengajar bahkan sudah digunakan secara aktif oleh 1,6 juta pengguna dari kalangan guru.

Mas Menteri juga sudah mengaku keliru menggunakan istilah Organisasi Bayangan karena yang dia maksud sebetulnya adalah tim (vendor) yang secara teknis bisa dimanfaatkan para dirjen untuk merealisasikan kebijakan melalui platform digital. Soal kejelasan status, kedudukan, peran, dan fungsi tim bayangan ini tentu saja bisa ditelusuri oleh lembaga pemerintah yang berwenang melakukan pengawasan, pembinaan, dan pemeriksaan semacam BPK guna menjawab prasangka negatif pada tim bayangan.

Tulisan ini hanya ingin menggarisbawahi pernyataan resmi Mas Menteri dan beberapa pejabat Kemendikbud Ristek di berbagai media mengenai wujud organisasi bayangan yang sesungguhnya untuk kemudian ditempatkan sebagai sebuah bentuk improvisasi penyelenggaraan layanan di Kemendikbud Ristek. Tim bayangan ini atau apapun namanya adalah sebuah ide yang direalisasikan guna mencapai suatu tujuan berupa percepatan transformasi digital di lingkungan Kemendikbud Ristek. Ini jelas sebuah cara, bukan tujuan. Dalam konteks umum reformasi birokrasi, pertanyaan menariknya adalah, apakah cara tersebut, yakni menyusun tim bayangan sebagai mitra ASN, benar-benar dibutuhkan dalam proses transformasi digital birokrasi? Inilah pertanyaan mendasar yang akan menuntun kita menilai rasionalitas argumentasi Mas Menteri beserta jajarannya dibalik hadirnya tim atau organisasi bayangan tersebut.

Jika definisi tim bayangan itu misalnya dikerucutkan hanya berdasarkan statusnya sebagai non ASN (PNS atau PPPK), maka setahu saya, banyak instansi pemerintah baik pusat maupun daerah yang menggunakan tenaga non ASN sebagai tim IT-nya. Mereka direkrut melalui jalur pengadaan jasa konsultansi baik perorangan maupun badan usaha lalu ditempatkan di sektor strategis pengelolaan teknologi informasi seperti pengelola jaringan, server, developer, dan lain-lain. Mereka mengisi peran yang kosong di birokrasi karena minimnya SDM ASN di bidang IT baik secara kuantitas maupun kualitas.

Kita tahu bahwa berdasarkan Perpres 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), transformasi digital birokrasi menjadi salah satu agenda yang sedang dilaksanakan saat ini. Aspek kebijakan, tata kelola, layanan, infrastuktur dan SDM SPBE menjadi ranah penting yang sudah disusun peta rencananya di rencana induk SPBE nasional yang ada di lampiran perpres tersebut. Dalam prakteknya, perkembangan teknologi informasi selalu melaju lebih cepat daripada proses adaptasi yang dijalankan di internal birokrasi.

Sekedar contoh, dari aspek kebijakan, hingga saat ini, belum semua kebijakan turunan dari Perpres 95 tahun 2018 tersedia. Masih ada kementerian yang belum menyusun pedoman teknis yang merupakan amanat Perpres 95 tersebut sehingga berpengaruh pada keterlambatan penyusunan kebijakan SPBE di level instansi baik pusat maupun pemerintah daerah. Sementara itu, rencana induk SPBE nasional berakhir pada 2024 dimana salah satu amanatnya ialah menargetkan terpenuhinya pedoman-pedoman teknis tersebut di tahun 2022. Apa urgensinya? Guna menyelaraskan isi kebijakan se-Indonesia yang ujung-ujungnya berorientasi pada integrated government.

Kesenjangan antara laju perkembangan teknologi informasi dengan kemampuan trnasformasi digital birokrasi yang paling nyata tentu bisa dilihat dari produk digitalisasi layanan publik. Platform pembelajaran seperti aplikasi ruang guru dan semacamnya muncul lebih awal. Padahal kalau bicara kebutuhan, jelas pemerintah-lah yang sangat membutuhkan aplikasi semacam itu untuk memperluas akses masyarakat pada ilmu pengetahuan. Pemerintah juga sangat bisa mengerahkan semua sumber daya untuk membuat platform belajar semacam itu dan digratiskan untuk semua anak Indonesia. Inilah sepertinya sedang dikejar Mas Menteri.

Nah, problem klasik di birokrasi adalah dirinya sendiri: regulasi, manajemen, SDM, budaya kerja, mentalitas, dan cara kerja. Jika transformasi digital birokrasi itu hanya soal membangun platform digital guna menjawab problematika publik, maka pemerintah bisa menggunakan skema jasa vendor developer. Jika cukup uang, sediakan saja anggaran untuk membeli aplikasi dari vendor serta biaya pemeliharaannya. Persoalannya kan tidak begitu. Transformasi digital juga berarti harus ada perubahan cara pandang, cara pikir, dan cara kerja ASN sebagai “penghuni asli” di birokrasi. ASN tidak akan mungkin hanya menjadi penonton sebuah perubahan di birokrasi. Mereka harus “dipaksa” berubah. Secara kelembagaan juga harus ada perampingan struktur, perubahan sistem kerja, perubahan sistem karir dan upah, serta pendefinisian ulang kompetensi teknis yang dibutuhkan di bidang IT.

Di titik inilah menurut saya kita akan temukan alasan kenapa perlu ada tim bayangan dalam proses transformasi digital di birokrasi. Pertama, karena secara teknis, sedikit sekali atau bahkan mungkin tidak ada ASN yang spesialis di bidang IT. Kalaupun ada, mereka tidak ditempatkan di unit kerja yang mengurusi IT atau bahkan tidak termotivasi mengeluarkan kemampuannya untuk kepentingan pekerjaan. Kenapa begitu? Bisa dilacak dari perencanaan rekrutmen pegawai, peta kebutuhan pegawai, kualifikasi dan penyematan jabatan fungsional, serta penugasan ASN. ASN didesain bukan menjadi fungsional spesialis tetapi struktural generalis. Ini pekerjaan rumah lain yang sedang diselesaikan oleh Kemenpan RB guna menemukan format ideal ASN yang sesuai tantangan zaman.

Kedua, tim bayangan bisa didesain menjadi organ yang lebih fleksibel, fokus, lincah bermanuver, dan cepat merespon. Ini hal-hal yang susah didapatkan jika menggunakan cara kerja birokrasi yang tengah berjalan. Maka kehadiran tim bayangan yang nota bene adalah para expert dan praktisi IT dari swasta, selain bisa mentransfer pengetahuan juga bisa menularkan cara kerja dan cara pandang yang lebih agile. Mereka juga dapat merespon berbagai tantangan yang muncul dalam proses transformasi digital secara cepat baik berupa pengembangan platform digital, pemeliharaan, maupun pengamanannya.

Menurut saya, ke depannya, kalau untuk urusan layanan digital atau SPBE, harus ada unit khusus atau harus direvitalisasi keberadaan lembaga yang menangani urusan TIK (kementerian, dinas daerah, dll). Sudah saatnya ada unit yang selain kompeten juga bisa merespon cepat dan beradaptasi dengan tantangan zaman. Kapasitas lembaga pemerintah harus ditingkatkan. Sektor IT di pemerintahan harus diposisikan sebagai sektor vital, diisi para ahli, dipimpin oleh good digital leader dan adaptif dengan perubahan. Cukup kiranya kasus Bjorka menjadi pembelajaran akan perlunya pemerintah meningkatkan kapasitas internalnya.

(Tulisan ini dimuat Harian Lampung Post, Senin 10 Oktober 2022. Di blog ini tulisan sebelum diedit pihak Lampost)



Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger