(Tulisan ini dimuat Koran Lampung Post 31 Januari 2024)
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas menerbitkan keputusan nomor 13
tahun 2024 tentang Hasil Evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE)
pada Instansi Pusat dan Pemerintah Daerah Tahun 2023. Keputusan tersebut memuat
hasil penilaian atas penerapan SPBE tahun 2023 pada 621 instansi pemerintah
baik pusat maupun daerah. Untuk instansi pemerintahan daerah di Lampung, Pemprov
Lampung dan Pemkab Mesuji tercatat sebagai 2 pemerintahan daerah yang mendapatkan
predikat sangat baik. Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Utara,
Lampung Barat, Tanggamus, Way Kanan, Pesawaran, Pringsewu dan Kota Metro berada
pada predikat baik. Sedangkan 5 pemerintah daerah lainnya meraih predikat
cukup.
Dibanding tahun sebelumnya, Kabupaten
Pesawaran termasuk diantara instansi pemerintah daerah yang mengalami kemajuan.
Hasil evaluasi SPBE tahun 2022, Pemkab Pesawaran meraih indeks 1.95 dengan
predikat cukup. Sementara hasil evaluasi SPBE 2023, Pemkab Pesawaran meraih indeks
2,91 dengan predikat baik. Indeks SPBE sendiri diukur dari skala 1 sampai 5
dengan predikat kurang, cukup, baik, sangat baik, hingga memuaskan.
Pertanyaan yang mungkin muncul di
benak publik adalah apakah indeks SPBE ini berkaitan langsung dengan peningkatan
kualitas layanan publik di instansi pemerintah? Dari pedoman peraturan yang
mengatur soal evaluasi SPBE serta instrumen penilaian yang digunakan, penulis
menilai tidak ada keterkaitan secara langsung antara indeks SPBE dengan
peningkatan kualitas layanan publik. Ketika raihan indeks SPBE melejit, tidak
serta merta dapat disimpulkan bahwa kualitas layanan publiknya juga meningkat.
Kenapa? Evaluasi SPBE dilakukan untuk
mengukur tingkat kematangan penerapan SPBE meliputi domain kebijakan, tata
kelola, manajemen dan layanan SPBE. Dari 47 indikator penilaian, ada 16
indikator pada domain layanan SPBE yang berkaitan langsung dengan penerapan
layanan administrasi pemerintahan dan layanan publik. Namun, hal yang diukur
disini adalah soal tingkat kematangan kapabilitas teknis sebuah sistem layanan
berbasis elektronik, belum bicara aspek utilitas atau skala kemanfaatan layanan.
Dalam bahasa sederhana, hal yang
diukur baru pada soal apakah instansi menggunakan aplikasi berbasis elektronik
atau tidak dan bagaimana kapabilitas teknis aplikasi layanan tersebut. Kapabilitas
teknis layanan diukur dengan 5 level kematangan yang terdiri dari informasi,
interaksi, transaksi, kolaborasi dan optimalisasi. Di level informasi, aplikasi
tersebut hanya mampu berkomunikasi satu arah kepada pemanfaat layanan. Level
berikutnya aplikasi bisa berinteraksi dan bertransaksi langsung dengan pengguna
layanan. Level kempat dicapai ketika aplikasi sudah terintegrasi dengan layanan
lain. Pada level ke-5, selain terintegrasi, aplikasi layanan juga bisa
beradaptasi dengan perubahan lingkungan internal dan eksternal.
Utilitas dari sebuah aplikasi layanan
administrasi pemerintahan maupun publik bukan bagian yang termasuk dalam
penilaian SPBE tersebut. Maka sepanjang instansi pemerintah memiliki aplikasi
layanan publik dengan kapabilitas teknis teknologinya sampai optimum, nilai
SPBE pada domain layanan akan melejit. Terlebih persentasenya mencapai 45% dari
keseluruhan domain penilaian. Dalam konteks inilah mengapa tingginya indeks
SPBE belum bisa disimpulkan linier dengan peningkatan kualitas layanan publik.
Keberadaan aplikasi layanan publik
berbasis elektronik yang canggih tidak akan membantu peningkatan kualitas
layanan publik apabila utilitasnya rendah. Alat yang canggih tidak akan
bermanfaat banyak apabila tidak difungsikan sesuai peruntukannya atau
difungsikan setengah hati. Kalau kita tarik ke soal 16 indikator layanan yang
dievaluasi dalam skema evaluasi SPBE, mungkin aplikasinya ada tetapi belum dimanfaatkan
secara maksimal dalam pelayanan administrasi pemerintahan maupun publik
sehingga dampak yang dirasakan pemanfaat layanan juga minimalis bahkan nihil. Kenapa
utilitas aplikasi layanan berbasis elektronik ini minimalis?
Pertama, lemahnya keinginan baik (good will) dari masing-masing instansi.
Kedua, lemahnya kemampuan untuk menerapkan layanan SPBE. Willingnes dan ability to do
ini sering jadi faktor yang memperlambat implementasi kebijakan. Problem ini
bisa diretas dengan adanya perintah tegas kepada instansi pemerintah untuk
menggunakan aplikasi layanan digital di semua indikator layanan publik dan
administrasi pemerintahan yang masuk dalam kategori layanan utama. Selain good will dari masing-masing instansi
pemerintah, penerapan SPBE bisa diakselerasi ketika ada titah yang tegas,
jelas, disertai dukungan infrastruktur dan anggaran dari pemerintah pusat.
Penerapan SPBE ini termasuk ranah
kebijakan yang harus dilakukan secara top down, bukan bottom up. Contoh sukses
digitalisasi layanan pemerintah misalnya pada urusan pengadaan barang dan jasa
dimana setiap instansi pemerintah diwajibkan menggunakan platform Sistem
Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) yang dikembangkan oleh LKPP (Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).
Saat ini, selain urusan pengadaan
barang dan jasa, ada 3 (tiga) aplikasi lain yang sudah ditetapkan sebagai
aplikasi umum berbagi pakai yang harus digunakan instansi pemerintah yakni aplikasi
SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) untuk layanan perencanaan, penganggaran,
dan penatausahaan keuangan, aplikasi SRIKANDI untuk pengelolaan kearsipan
termasuk surat menyurat, dan aplikasi LAPOR untuk urusan pelaporan dan pengaduan
publik. Aplikasi SPBE tersebut akan terasa dampaknya pada percepatan layanan
administrasi publik dan pemerintahan ketika utilitasnya didorong sampai titik
maksimal. Dengan begitu, peningkatan indeks SPBE benar-benar linier dengan
peningkatan kualitas layanan publik instansi pemerintah. Kita membutuhkan rapot
SPBE yang tak hanya gagah dalam sebutan, tapi benar-benar berdampak pada
kualitas layanan publik.
Comments
Post a Comment