Skip to main content

Incumbent, PNS, dan Kenakalan Pemilih

Suatu hari seorang PNS guru menunjukkan ID Card kepada saya sambil senyam-senyum. Di ID card itu tercantum namanya sebagai tim pemenangan salah satu calon gubernur. Tanda pengenal itu katanya dibagikan oleh orang-orang tertentu kepada guru-guru di sekolahnya atas restu dari pihak sekolah yang mungkin pendukung calon gubernur tersebut. Mungkin juga pihak pejabat sekolah merasa tidak enak menolaknya sebab calon gubernur tersebut merupakan kandidat incumbent.

Saya tahu, sang guru tersebut tidak pernah mendekatkan diri dengan politik praktis semacam itu. Terlebih statusnya sebagai PNS memang tidak memberikan ruang untuk berkiprah disana. Maka, ketika dia menunjukkan tanda pengenal tersebut, saya yakin seratus persen, dia akan meletakannya begitu saja di rumah tanpa merasa punya kewajiban sebagai anggota tim pemenangan pilgub. Sebelumnya, para guru di sekolahnya juga menerima kalender dari tim pemenangan kandidat gubernur yang sama.

Apa yang menarik dari kejadian itu? Pertama, seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, kandidat incumbent punya peluang besar melakukan aktivitas kampanye serta mendayagunakan kekuatan birokrasi demi mensukseskan pencalonannnya. Bukan hanya kandidat yang kini masih menjabat gubernur namun juga kandidat yang menjadi bupati di daerahnya masing-masing.

Selain pemanfaatan wewenang serta fasilitas negara untuk pemenangan pilgub, hal yang berbahaya dilakukan kandidat incumbent adalah menyeret PNS ke arena politik praktis sehingga menimbulkan polarisasi diantara mereka. Mesin birokrasi dikerahkan untuk sebesar-besar keuntungan politik kandidat incumbent.

Maka tak heran jika ada pejabat pemprov Lampung yang terang-terangan mengkampanyekan kandidat incumbent kepada masyarakat dalam forum-forum pertemuan. Aktivitas yang lebih vulgar biasanya dilakukan dengan membagi-bagikan alat peraga kampanye kepada peserta dalam sebuah forum yang sebetulnya tak ada kaitannya dengan pilgub. Dan lucunya, itu dilakukan di depan mata para PNS yang sebagiannya mendukung sang kandidat dan sebagian lainnya mungkin tidak setuju dengan cara-cara itu.

Para birokrat pemda yang secara sadar memihak pada incumbent tentu sadar akan konsekuensi dibalik dukungan yang ia berikan. Jika sang incumbent menang, maka ia pun akan kecipratan buahnya. Namun, jika kalah, ia harus pintar-pintar melobi gubernur terpilih agar posisinya aman atau harus angkat koper karena dimutasikan. Dan inilah yang kita saksikan di beberapa daerah yang telah melangsungkan pilkada.

Pilkada di Bandar Lampung, Lampung Barat, serta Tanggamus adalah contoh dimana muncul kepanikan di kalangan birokrat ketika kandidat yang mereka dukung baik secara sadar maupun terpaksa ternyata dikalahkan dalam pertarungan pilkada. Isu sapu bersih terhadap birokrat yang tidak netral oleh kepala daerah terpilih juga biasanya merebak menjelang dilantiknya kepala daerah terpilih. Hal ini tentu mengganggu iklim kerja di lingkungan pemda.

Apakah kepanikan semacam ini akan selalu berulang? Sangatlah mungkin jika kalangan birokrat dan PNS pada umumnya mempertontonkan secara vulgar keberpihakannya pada kandidat incumbent. Kuatnya tarikan incumbent melibatkan PNS dalam tim pemenangan, rasa ewuh pakewuh pejabat pemda ataupun sikap cari muka terhadap incumbent, serta tidak adanya sistem yang menjamin netralitas PNS sepertinya akan terus menciptakan problem netralitas PNS dalam setiap pilkada.

Kembali ke kisah awal PNS guru tadi. Sikap sang guru tadi sedikit banyak dapat kita temukan pada sebagian masyarakat. Inilah hal kedua yang menarik dari pengalaman guru tersebut. Ia memperlihatkan gambaran perilaku unik masyarakat yang kian hari kian sadar dan cerdas politik.

Mafhum kalau yang memberikan ID card itu utusan kandidat incumbent, ia tak menunjukkan ketaksetujuannya secara vulgar. Cukup dengan membiarkan benda itu tergeletak di rumahnya dan tak melakukan peran apapaun selayaknya tim pemenangan. Inilah perlawanan senyap yang terkadang dilakukan warga yang tak cukup punya kekuatan untuk melawan dengan aksi yang lebih nyata.

Dengan begitu, ia telah membuat uang tim pemenangan kandidat incumbent berkurang untuk hal yang sama sekali tak bermanfaat. Jangankan menjadi tim pemenangan pilgub, memastikan bahwa sang guru memilih kandidat tersebut pada saat pilkada pun tidak bisa. Jadi, uang yang dikeluarkan untuk biaya ID card itu bisa dibilang mubazir, tak ada manfaatnya.

Perilaku pemilih semacam ini sudah muncul sejak pemilu 2004. Selama tidak merugikan mereka secara fisik dan tidak ada intimidasi untuk memilih kandidat tertentu, pemberian apapun dari para tim sukses atau tim pemenangan akan diambil warga. Soal kemana mereka akan menjatuhkan pilihan politik itu persoalan lain. Tipikal ini terutama kita temukan di kalangan warga miskin perkotaan yang sudah tersentuh arus informasi lebih memadai ketimbang warga di pedesaan.

Tim pemenangan pilkada kini harus beradu cerdas dengan para pemilih yang pasti akan semakin melek dengan persoalan politik seiring meningkatnya pendidikan dan akses informasi. Kalaulah dulu para politisi bisa begitu mudah membodohi masyarakat, kini masyarakat juga bisa memanipulasi selera pilihan serta dukungan di hadapan para tim pemenangan.

Dalam konteks pemenangan pilgub bagi kandidat incumbent, para tim sukses perlu diingatkan agar tidak terlampau agresif yang justru bisa menimbulkan sinisme masyarakat. Terutama dengan memasuki arena-arena yang sebetulnya terlarang seperti memaksa para guru menerima ID Card sebagai tim pemenangan pilgub, penyebaran alat peraga kampanye di forum-forum yang diselenggarakan pemerintah atau organisasi-organisasi binaan semacam PKK, atau menjadikan pejabat pemerintah sebagai juru kampanye terselubung.

Pemanfaatan jejaring birokrasi berikut segala perangkatnya yang melampaui keawajaran juga dikhawatirkan malah akan mengundang reaksi tidak simpatik dari publik. Terkesan memaksakan kehendak, menghalalkan segala cara, arogan, dan tidak mengindahkan etika pemerintahan. Alih-alih muncul dukungan, yang ada justru resistensi yang diperlihatkan pada saat pemilih berada di bilik-bilik suara.

Kembali pada kisah sang guru. Menurut saya, kalaulah sang PNS guru tersebut menolak kehadiran berbagai atribut dari tim pemenangan calon incumbent secara langsung di sekolahnya, tidaklah terlalu menyakitkan tim sukses dan sang kandidat. Yang lebih menyakitkan justru jika ia menerima ID Card dan seluruh alat kampanye calon incumbent lalu melemparnya begitu saja ketika tiba di rumah dan tidak memilih kandidat incumbent itu pada hari pemilihan gubernur.

Wallohu A’lam Bisshowaab.

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger