Skip to main content

Cerpen: IBU

Ibu mengajar anak-anak membaca Alquran. Setiap sore, kecuali jum’at, rumahku ramai dengan suara-suara bocah yang belajar mengaji. Sepengamatanku ada sekitar 30 anak. Untuk aktivitas yang satu ini, Ibu tidak pernah mematok biaya. Prinsipnya yang ia pegang sejak lama tetap tak berubah. Kalau ada rejeki bayar seadanya saja. Kalau nggak ada, ya nggak usah dipaksa. Yang penting anak-anak bisa ngaji. Ini bukan sekedar basa-basi. Aku tahu diantara anak-anak itu ada yang tidak membayar sepeserpun. Entah karena memang tak mampu atau orang tuanya yang tak acuh. Tapi ibu tak pernah mengeluh. Dan tak pernah memberikan perlakuan berbeda.

Bila dibandingkan dengan kebiasaan di kampungku, sikap ibu ini amat kontras dan susah dimengerti. Di sini tiap guru ngaji mematok harga tertentu atas jasanya mengajar ngaji. Untuk satu anak bisa ditarik biaya sekitar 25-30 ribuan per bulan. Itu untuk kelas privat alias guru ngaji yang menyambangi murid. Bagi kelas besar setiap anak dikenai biaya lima ribu rupiah. Tak jarang orang tua yang mengeluh dengan tarif ini. Dan itulah salah satu alasan ibu menolak mematok harga.

Pernah suatu ketika aku sampaikan pada ibu agar ditentukan saja bayarannya. Tapi ibu menolak halus. Ia khawatir hal itu akan memberatkan mereka. Bisa-bisa mereka berhenti mengaji. Kalau mereka tak mengaji berarti mereka tak kan pernah bisa membaca Alquran. Lalu siapa yang nantinya akan mengajarkan pada generasi berikutnya? Dan ibu khawatir ia terkena dosanya. Ibu selalu merasa ikut bertanggung jawab mengajari anak-anak mengaji. “Mereka itu pengen bisa ngaji masak nggak ibu ajarin. Dosa nanti, nak.” Begitulah jawaban ibu. “Rejeki kan bukan datang dari mereka. Gusti Allah yang memberikan pada kita. Pasti ada jalan lain yang telah Ia siapkan.”

         Pintu rejeki lain. Ya. Itulah yang selalu menjadi keyakinan Ibu. Ia yakin bahwa Gusti Allah akan selalu memberikan jalan keluar. Itu pula yang membuatnya kokoh menghadapi beragam kesulitan. Apapun yang terjadi ia selalu mengembangkan senyum pada anak muridnya, bayar atau tak bayar.
***
Suatu sore yang mendung. Hujan seperti akan segera meyiram bumi. Ayah tampak serius mengamati titik hujan yang mulai menempel di kaca jendela. Tapi tatapannya kosong. Begitu pula Ibu. Keduanya membisu. Aku tak paham yang tengah terjadi. Sampai ibu bercerita tentang ayah yang baru saja mendapat surat PHK dari tempatnya bekerja. Alasan tetap sama sepeti dulu; perusahaan lagi kolaps, terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan.

Sebenarnya ini bukan kali pertama ayah di PHK. Semasa krisis moneter dulu, ayah juga sempat di PHK. Hampir setahun ayah tak kerja. Waktu itu aku masih SMA. Aku tahu bagaimana susahnya ayah ibuku mencari biaya sekolahku dan adik-adikku.

Kejadian itu kini berulang. Seperti roda yang tak henti berputar. Semua titik pasti akan mengalami posisi atas bawah. Bedanya hanya pada waktu. Aku kini masih menjalani studi di sebuah PTN. Adikku yang pertama kelas dua SMA sementara yang kedua kelas tiga SMP. Tentu biaya yang kami butuhkan amatlah besar. Apalagi dunia pendidikan sekarang mengarah ke bidang komersil. Beli ini beli itu. Pungutan di mana-mana. Aku harus menyelesaikan skripsiku secepatnya. Sementara adikku harus mempersiapkan kelulusannya dari SMP. Timbul kekhawatiran, dari mana kami menutup dana yang dibutuhkan?

Pada kondisi seperti ini, ibu-lah yang paling pandai menenangkan kami. Ia senantiasa mengulang keyakinannya dari awal. “Allah tak pelit terhadap orang yang di PHK. Pasti Ia sudah punya rencana lain. Percayalah Nak.” Aku hanya terdiam saat ibu mengucap kalimat itu. Kata-katanya menyihir. Ada ketenangan yang kurasakan jika ibu mengucapkan kalimat itu. Aku hanya berharap semoga demikian adanya.

Diantara kami, Ibu-lah yang memang lebih taat dalam menjalankan ibadah. Selain aktif di berbagai aktivitas keagamaan, beliau juga rajin menjalankan ibadah-ibadah sunah. Puasa, shalat duha, serta tahajud sudah menjadi kebiasaannya. Tidak hanya itu, kesalehan sosialnya pun teruji. Ibu paling peka dengan permasalahan yang dihadapi orang lain. Tangannya mudah terulur membantu tetangga yang membutuhkan bantuannya. Hal-hal itulah yang kemudian banyak diajarkan pada kami, anak-anaknya.
***
Sebulan telah berlalu. Kehidupan kami berjalan seperti biasa. Bedanya kami kini harus hidup lebih prihatin lagi. Ayah hampir tiap hari berkeliling mencari kerja lain. Ibu tetap dengan aktivitasnya mengajar anak-anak. Meski keuangan keluarga makin tipis, tak ada keluh yang meluncur dari mulut ibu. Ia letih. Ia capek. Aku tahu itu. Tapi ia tak pernah mempertontonkannya pada kami. Lebih-lebih pada ayah. Darinya selalu melucur kalimat penyemangat. Ia memang tak bisa mencarikan ayah pekerjaan baru. Tapi paling tidak ia mampu membuat ayah tidak frustasi.

“Aku bertemu Kang Imron kemarin, Bu. Ia tetap seperti yang dulu.” cerita Ayah suatu waktu. Aku dan ibu hanya terdiam. Aku tahu Kang Imron. Ia seorang yang dipercaya punya “kepintaran”. Menurut ibu, Kang Imron teman Bapak selagi muda. Mereka pernah sama-sama mengenyam ilmu olah kanuragan. Keduanya pernah jadi jawara. Tapi bapak tidak melanjutkan “kejawaraannya”. Ia meninggalkan dunia itu setelah menikahi ibu.
“Aku diajari wirid baru. Katanya untuk mendatangkan jin.” Lanjut Bapak.
“Terus kalau jinnya sudah datang mau diapain?” ibu menyela.
“Jin itu bisa diperintah melakukan apapun.”
“Maksud Bapak?”
“Bu, aku capek keliling mencari kerja yang tak pasti. Dengan jin itu, aku mungkin bisa memanfaatkannya. Kang Imron bilang, ilmu-ilmu yang pernah kupelajari dulu masih bisa digunakan. Aku bisa seperti dia. Ibu lihat sendiri, banyak orang yang datang ke dia untuk minta pengobatan supranatural. Nah, aku ingin menguji kembali ilmuku yang dulu itu, Bu. Mudah-mudahan saja ini menambah penghasilan kita. Dari mana biaya anak-anak nanti kalau kondisinya begini terus?”
“Sudah bapak pertimbangkan?”
“Untuk saat ini hanya itu yang mampu aku lakukan.” tukas Bapak.
“Ibu khawatir kita terjerumus kemusyrikan. Bersabarlah dulu, Pak! Bukankah Gusti Allah sudah mempersiapkan rejeki bagi tiap-tiap makhluknya?”
Terhadap komentar ibu tersebut, bapak hanya diam. Setahuku, diamnya bapak bukan berarti setuju lalu menuruti keinginan ibu. Aku yakin, bapak pasti akan menguji ide Kang Imron itu. Ya, itulah yang aku tahu tentang bapak.
***

Malam jum’at kliwon selalu jadi malam favorit bagi mereka yang hobi dengan klenik. Tak terkecuali Bapak. Sesuai dugaanku, ia serius hendak menuruti saran Kang Imron. Satu kamar sengaja dikosongkan. Tanpa lampu. Tapi tidak juga diembel-embeli sesajen, kemenyan, dan semacamnya. Bapak hanya diharuskan baca wirid sampai pagi. Malam itu terasa amat menyeramkan bagiku.

Aku sendiri tak dapat tidur dengan lelap. Aku mereka-reka apa kira-kira yang bakal terjadi malam ini. Benarkah jin itu akan datang menemui bapak? Seperti apa bentuknya? Aku sendiri tidak setuju dengan apa yang dilakukan bapak. Tapi mau gimana lagi. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah membukakan jalan keluar bagi kami.

Sampai jam 01.00, aku tak merasakan kejadian apapun. Kamar yang diisi bapak tetap senyap. Jam 02.00, aku dengar suara langkah ibu menuju kamar mandi. Ia sepertinya tak terganggu dengan aktivitas bapak. Seperti biasa, ia mengambil air wudhu dan menghabiskan malam dengan mendekatkan diri pada yang kuasa. Jam 03.00, baru kurasakan kejadian aneh. Rumahku serasa bergoyang seperti ada terjadi gempa. Sekitar sepuluh menitan aku rasakan itu. Kemudian berhenti. Jam 04.00, aku mulai mendengar lantunan ayat-ayat suci yang dibaca ibu. Sesekali disertai isak tangis. Aku menikmatinya. Menikmati kesyahduannya. Sampai adzan subuh menggema. Bergegas kutunaikan shalat.

Pintu kamar ayah terbuka. Keletihan terlihat dari raut wajahnya. Entah apa yang telah terjadi. Ia hanya melirikku sebenar lantas menuju kamar dan tidur.

Bapak baru cerita setelah terbangun. Jin yang ia “undang” ternyata tak datang-datang. Sepertinya ada sesuatu yang menghalangi. Penuturan bapak itu membuatku lega. Tentu tak kuperlihatkan pada Bapak. Kegembiraan yang sama dapat kulihat dari pancaran wajah ibu. Ketika bapak sudah keluar rumah, ibu bergumam:”Alhamdulillah, setidaknya kita terlepas dari pintu kemusyrikan.” Aku berfikir, mungkin semalam Ibu berdoa guna menyelamatkan akidah bapak.

“Yakinlah, Nak. Gusti Allah telah menetapkan rejeki bagi tiap makhluk-Nya” ucap ibu sambil berlalu.

(Dibuat entah 2007, entah 2008)

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger