Skip to main content

CERPEN: OBROLAN DI ATAS BUS

Bus yang kutumpangi merayap perlahan keluar Bakauheni tepat jam 22.15. Kursi penumpang terisi penuh. Aku duduk di belakang. Di sampingku seorang bapak dan seorang gadis muda. Dari gerak-gerik dan penampilan, jelas keduanya terbiasa melakukan perjalanan jauh.

“Turun di Rajabasa, mas?” bapak itu bertanya.

“Ya.” Jawabku singkat.

“Kalo Mbak?”

“Rajabasa juga”

“Wah, hati-hati!kalau malam kayak gini Rajabasa menyeramkan. Banyak preman. Mbak sendirian?”

Gadis itu hanya mengangguk.

“Apalagi sendirian. Saya saja yang tinggal di Bandar Lampung nggak berani masuk Rajabasa malam-malam. Darah bisa abis diisep preman.”

“Ya namanya juga terminal, Pak. Agak aneh kalau nggak ada preman di tempat seperti itu.” Seorang lelaki perlente yang duduk didepanku berkomentar.

“Wah, kalau disini lain, Mas. Situ belum pernah ke Lampung ya? Baru kali ini? Preman disini megang penuh Rajabasa. Makanya ngeri.”

“Coba saya tebak. Pasti sering ada pencopetan, penjambretan, para calo yang maksa-maksa, pedagang asongan yang semrawut. Begitu kan Pak?” ujar si perlente kalem.

Lalu ia lanjutkan,

“Itu mah biasa!”

“Tapi kalau yang dijambret, dianiaya, dicopet, atau diperas itu bukan hanya orang sipil tapi juga tentara, apakah itu juga biasa?” Si bapak sengaja menggantung pertanyaan itu.

“Selama kurang lebih dua puluh tahun saya bepergian, belum pernah saya melihat kondisi terminal seseram Rajabasa.”

Aku memang sudah mendengar kabar tentang kondisi terminalnya yang rawan. Orang-orang yang kerap bepergian ke Lampung selalu menyebarkan cerita itu. Sama seperti bapak yang satu ini. Konon, terminal Rajabasa sangat tidak nyaman bagi para penumpang. Aku sendiri belum tahu secara riil. Aku masih menganggapnya wajar. Ya, namanya terminal. Persis seperti pikiran si perlente tadi. Kabar terakhir kudengar segerombolan tentara mengamuk di terminal karena ada temannya yang dipermainkan preman.

“Kawanku hampir mati di sana.” Si bapak kembali cerita. “Dia pulang dari Banten dan tiba di Rajabasa jam 02.00 malam. Begitu turun dihampiri preman-preman bertato. Waktu itu dia berempat. Katanya sih mereka punya ilmu bela diri. Sabuk hitam semua. Tapi waktu diperas para preman itu ternyata tak berkutik. Perut kawanku robek kena badik. Yang lainnya juga sama. Semuanya masuk rumah sakit.”

“Nggak ada yang nolong, Pak?” sela si gadis.

“Kalau malam, Rajabasa itu milik preman. Tidak ada aturan hukum berlaku kecuali hukum rimba. Siapa yang kuat maka dia yang berkuasa. Tak ada yang berani sama mereka. Jangan berpikir ada polisi di situ. Setelah mati baru situ ditengok polisi.”

“Polisinya pada ke mana?”

“Ya nggak ada. Paling-paling siang. Itu pun kadang-kadang hanya jadi aksesoris terminal saja. Nyatanya pencopetan tetap ada. Waktu tentara ngamuk di terminal kemarin itu ya bukti semrawutnya Rajabasa. Tentara saja dimainin, apalagi rakyat sipil biasa. Ngomong-ngomong situ mau kemana?”

“Ke Liwa, Lampung Barat” jawab si perlente

“Sebaiknya situ turun di jalan dan cari penginapan. Besok pagi baru ke Liwa. Biar aman.”

“Bapak turun di jalan juga?”

“Iya. Saya nanti turun di lampu merah kali balok. Kalo mau kamu ke rumah saya saja. Rumah saya nggak jauh dari situ. Atau bisa naik taksi ke penginapan”

“Terserah nanti aja lah, Pak.”

*********

Jam di tanganku menunjukan pukul 23.15. Sekitar satu jam lagi bus sampai di Rajabasa. Di luar malam begitu pekat. Sesekali sorot lampu bus memotret pinggiran jalan gelap. Sebagian penumpang lelap tidur. Termasuk gadis muda dan bapak yang disampingku. Sayup lagu yang diputar di dalam bus rupanya membius para penumpang. Entah apakah tidur beneran atau sekedar tidur ayam. Suasana amat hening. Hanya raungan mesin bus yang terdengar.

Suasana mulai riuh ketika para penumpang terbangun karena ban mobil pecah. Untung bus masih bisa dikendalikan. Sembari menunggu ban mobil diganti, sebagian penumpang keluar dari bus. Ada yang sekedar merokok atau menghilangkan pegal.

“Kalau begini, kusarankan para penumpang tidak turun di terminal Rajabasa” si bapak itu kembali berucap. Ia beralih ke posisi barisan depan sembari menatap para penumpang.

“Ada yang mau turun di Rajabasa?” ia mengawasi penumpang.

“Saya turun di Rajabasa.” Seseorang menjawab.

“Situ turun di Rajabasa? Udah tau resikonya?”

“Saya tahu. Tapi saya harus naik mobil dari Rajabasa. Saya harus cepat ke rumah, ibu saya di Liwa sakit keras.”

“Saya juga harus turun di Rajabasa.” Si Gadis muda menimpali. “Saya harus sampai di Pringsewu malam ini.”

“Tapi Rajabasa rawan. Resikonya besar. Pikirkan lagi”

Untuk beberapa jenak hening. Gumaman halus para penumpang terdengar.

“Saya juga turun di Rajabasa.” Si perlente ikut bicara.

“Saya kira kita bisa aman kalau banyak yang turun di Rajabasa. Kita bisa barengan. Masih ada yang mau turun di Rajabasa?” si perlente berdiri. Matanya menatap para penumpang.

“Ya. Kalau bareng-bareng kita aman. Hitung saja berapa orang yang mau ke Rajabasa!” Seseorang menimpali.

Setengah penumpang bis ternyata mau turun di Rajabasa.

“Baik kalau begitu. Nanti kita turun di Rajabasa rame-rame.” Si perlente terlihat yakin.

“Saya bukan nakut-nakutin. Sebulan lalu empat kawan saya hampir sekarat di Rajabasa. Dua minggu lalu, dua tentara juga jadi korban pemerasan. Padahal mereka bawa pistol. Dan perlu diingat, Rajabasa di malam hari penuh dengan preman. Saudara pasti tahu cerita tentang mereka. Saran saya, lebih baik turun di jalan dan cari penginapan dari pada cari masalah disana” Si Bapak kembali duduk setelah berucap.

Orang-orang terdengar bergumam. Mereka yang tadi hendak turun di Rajabsa sepertinya masih ragu. Masing-masing terlihat asyik dengan pikirannya. Bus kembali berjalan. Sesaat kemudian para penumpang kembali senyap dengan mimpi masing-masing.

Mendekati tepian Bandar Lampung, kernet mulai mengingatkan penumpang untuk bersiap. Penumpang yang tertidur dibangunkan. Barang-barang pun dikemas.

“Mas, jadi turun di Rajabasa?” si Bapak kembali bertanya

“Iya, Pak! Saya ada yang jemput” jawabku singkat.

“Ya, syukurlah kalau begitu. Hati-hati aja jangan sampai lengah! Mbak ini jadi turun di Rajabasa?”

“Lihat nanti saja, Pak. Kalau banyak yang turun disana saya ikut juga”

“Lebih baik kamu cari penginapan. Lebih aman kalau jalan besok. Lagian jam segini mana ada mobil yang ke Pringsewu. Turun bareng saya saja. Nanti kamu naik taksi ke penginapan.”

“Tapi…”

“Nyawa lebih penting, Mbak!”

Si gadis terdiam. Keraguan nampak diwajahnya. Bus tetap berjalan. Menembus malam pekat.

“Mohon maaf para penumpang. Setelah dipertimbangkan saya turun di jalan saja. Saya mau cari penginapan dan melanjutkan perjalanan besok” Si perlente bicara agak keras. Penumpang yang tadi hendak turun di terminal berbisik-bisik.

“Pak, saya ikut turun bareng bapak saja ya?” Si perlente berkata pelan.

“Ya, sudah. Mbak ini gimana?”

“Saya turun bareng bapak juga” Si gadis segera mengemas barang.

“Nah, saya turun di lampu merah itu”

Lalu satu persatu para penumpang turun di jalan. Tidak ada lagi penumpang yang ngotot mau turun di Rajabasa. Kecuali aku tentu.

“Turun di mana, Mas?” Tanya kernet

“Rajabasa” Kujawab singkat. Kernet itu hanya diam.

“Kami nggak nanggung ya kalo terjadi sesuatu sama Mas” Sopir menimpali.

Aku hanya mengangguk. Sebegitukah ketakutan orang terhadap terminal Rajabasa? Sampai Sopir sendiri sampai merasa perlu memberi peringatan.

Jam 01.15 bis tiba di terminal Rajabasa.

“Hati-hati, Mas!” Untuk terakhir kalinya sopir mengingatkan.

Kusulut sebatang rokok. Tercipta asap. Kulangkahkan kaki keluar bis. Pandanganku menyebar ke segala arah. Setiap sudut kuawasi. Kios-kios kecil masih buka. Semua tampak normal. Dari tempat yang remang sekelompok orang kulihat mendekat. Ada tujuh orang. Badannya kekar-kekar dan bertato. Aku tak beranjak.

“Selamat datang di Rajabasa, Bang. Kami kira nggak jadi datang!” seorang dari mereka menyapaku. Di dahinya ada bekas jahitan mengangga. Lengannya kekar penuh tato.

“Hmmh! Ban mobil pecah di jalan.” Kuikuti langkah mereka ke sebuah kedai minum. Mereka duduk mengitariku.

“Nih. Oleh-oleh dari jalan.” Kuhampar bungkusan plastik yang kubawa. HP si perlente, jam tangan si bapak, dompet si gadis, serta lima lembar uang seratus ribuan ada didalamnya. Malam itu kami berpesta.

Oh, iya. Namaku Bram. Orang-orang menyebutku Bima, preman Tanah Abang.

Kalo tidak salah dibuat Juli 2006

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger