Skip to main content

Koreksi dari Ngat Emi

Gugatan Ngat Emi terhadap Walikota Bandar Lampung dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung terkait kebijakan pemutasiannya dari Kepala SDN 1 Palapa, akhirnya kandas di PTUN (Lampost, 19/9/2014). Majelis hakim menilai gugatan Ngat Emi kadaluarsa sehingga tidak bisa diterima. Atas keputusan tersebut, Ngat Emi berencana mengajukan banding.

Meski kandas di PTUN, langkah gugatan Ngat Emi terhadap Walikota Bandar Lampung ini meninggalkan pelajaran bagi kita. Dengan persiapan seorang Ngat Emi yang mungkin tak terlalu apik, target memenangkan gugatan di PTUN bisa jadi tidak berhasil. Tapi, target mencuri perhatian publik (kalau memang jadi target), termasuk kepala daerah serta para pegawai birokrasi, saya kira sudah cukup berhasil.

Langkah gugatan Ngat Emi tak semata kita baca sebagai sebuah perlawanan seorang aparat birokrasi terhadap kebijakan pejabat politik di daerah, tetapi bisa dimaknai sebagai upaya mengetuk kesadaran kita untuk menelaah mekanisme mutasi jabatan dalam organisasi pemerintahan daerah yang mungkin dari sisi konsep bermasalah. Mutasi jabatan dalam birokrasi pemerintahan daerah selama ini sudah menjadi rutinitas biasa sehingga kalaupun ada desas-desus kurang baik didalam kebijakan mutasi tersebut kita anggap sebagai sesuatu yang biasa juga, bukan lagi dianggap masalah yang perlu dibenahi bersama.

Misalnya, cerita pergantian pejabat birokrasi pemerintah daerah besar-besaran di setiap era kepemimpinan baru kita anggap sebagai suatu hal yang wajar. Kita terima begitu saja seperti sebuah hukum alam. Rolling pejabat dan pemberhentian pejabat tertentu (non job), kita terima sebagai sesuatu yang rutin, lumrah, dan seperti alasan yang sering ditulis di media, sebagai sebuah penyegaran. Kita seperti kehilangan daya kritis dengan proses dan mekanisme yang dijalankan dalam mutasi tersebut apakah dari perspektif manajemen memang menghasilkan para pejabat baru dengan kualifikasi terbaik atau tidak. Kita pun tak lagi terusik menelaah desas desus bahwa untuk mendapatkan jabatan di birokrasi harus punya kedekatan, loyalitas, dan juga uang mahar.

Selama ini kita maklumi bahwa kebijakan mutasi pegawai pemerintah daerah sepenuhnya ada di tangan Pejabat Pembina Kepegawaian yang dalam hal ini adalah kepala daerah.  Pemberian kewenangan tersebut tentu saja agar kepala daerah leluasa dalam menentukan tim kerja yang bisa mendukungnya merealisasikan visi misi di masa kepemimpinannya. Maka, seperti apapun kebijakan mutasi yang dilakukan kepala daerah, itu adalah putusan final yang harus diterima oleh pegawai pemerintah daerah.

Yang mesti kita pertimbangkan selanjutnya adanya pihak lain yang menurut saya juga memiliki hak tertentu dalam kebijakan mutasi atau penempatan pejabat di birokrasi ini. Yang pertama adalah para pegawai pemerintah daerah yang punya hak untuk meningkatkan jenjang karir berdasarkan kompetensi dan prestasi kerja. Yang kedua adalaah hak publik untuk mendapatkan pejabat birokrasi terbaik, punya komitmen serta kompetensi unggul dalam pelayanan publik, terutama pegawai birokrasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti di bidang pendidikan dan kesehatan.

Saya kira kajian tentang inilah salahsatu hal yang bisa kita petik dari adanya gugatan Ngat Emi yakni bagaimana kita membuat format mutasi yang bisa mempertimbangkan kepentingan kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian sekaligus pengguna tenaga pegawai, kepentingan aparat pemerintah sebagai pegawai yang mestinya didukung dengan sistem kepegawaian yang menempatkan mereka sebagai pegawai profesional, serta kepentingan masyarakat sebagai penyumbang dana pada negara sekaligus pemanfaat layanan birokrasi.

Pegawai pemerintah daerah, yang dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebut ASN, berkepentingan dengan adanya sistem mutasi maupun promosi yang berbasis prestasi (sistem merit). Pertama, sistem merit memungkinkan setiap pegawai meraih jabatan tinggi dalam birokrasi berdasarkan kompetensi dan prestasi, tanpa ada diskriminasi suku, agama, atau hal lain yang tak ada kaitannya dengan profesionalitas kerja. Kedua, sistem merit akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi pejabat tinggi di birokrasi bahwa apa yang dia capai berdasarkan mekanisme rekrutmen yang kompetitif, bukan berdasar kedekatan apalagi uang mahar.

Sedangkan masyarakat berkepentingan mendapatkan pejabat birokrasi yang terbaik agar kualitas pelayanan birokrasi yang mereka rasakan juga semakin membaik. Karenanya, menurut saya, masyarakat bisa berpartisipasi memberikan masukan dalam penyusunan pejabat tinggi tertentu di birokrasi pemerintahan daerah, terutama yang berkaitan dengan tugas pokok pelayanan yang langsung bersentuhan dengan mereka. Termasuk juga dalam mengevaluasi pejabat birokrasi di sektor pelayanan publik seperti rumah sakit, kelurahan, kecamatan, dan lain-lain.

Sejauh ini, model mutasi dan promosi yang relatif bisa mengakomodir kepentingan tiga pihak itu adalah mekanisme rekrutmen pejabat terbuka seperti yang dilakukan beberapa kementerian dan lembaga pemerintah di tingkat pusat, serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lembaga-lembaga tersebut bahkan sudah melaksanakannya sebelum UU ASN disahkan yang didalamnya memang mengatur mengenai hal tersebut. Untuk setiap jabatan yang lowong, disusun kualifikasi yang dibutuhkan seperti apa serta berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Setiap pegawai, sepanjang memenuhi persyaratan, boleh mendaftar dan mengikuti seleksi yang terdiri dari beberapa tahapan tes. Dari berbagai tahapan tes itulah akan dihasilkan pejabat yang paling layak menduduki jabatan yang lowong tersebut.

Dengan rekrutmen pejabat secara terbuka, kepala daerah bisa mendapatkan pejabat birokrasi yang punya komitmen tinggi, punya konsep yang dibawa, punya indikator kinerja sebagai alat evaluasi, serta punya motivasi pencapaian kinerja yang tinggi. Dengan kualifikasi semacam itu, maka kinerjanya akan dirasakan masyarakat sebagai pengguna layanan birokrasi. Dan bagi pegawai, mereka akan terpacu meningkatkan prestasi serta kompetensi karena yakin bahwa hal itu berbanding lurus dengan peluang peningkatan karir, bukan pada hal-hal lain.

Melalui proses dan mekanisme rekrutmen pejabat yang bagus, maka input pegawai yang jadi pejabat juga bagus. Input pejabat yang bagus diharapkan akan mendorong proses kerja di setiap lini birokrasi menjadi lebih bagus, lalu menghasilkan output (keluaran) dan outcomes (masukan) yang bagus. Kepala daerah senang, masyarakat senang, pegawai juga senang. Sama-sama senang kan?


Yogyakarta, 23 September 2014
Dimuat Harian Lampung Post, Sabtu 27 September 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger