Sebetulnya, untuk mewujudkan lembaga
pemerintahan yang transparan di Lampung, tidak perlu dengan mendesakkan agenda
pembuatan peraturan daerah transparansi yang akan memakan waktu lama
pembuatannya, tetapi cukup dengan mendorong pelaksanaan amanat Undang-Undang
nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sepenuh hati.
UU KIP yang diikuti aturan turunannya yakni Peraturan Pemerintah No 61 tahun
2010, Permendagri nomor 35 tahun 2010, serta berbagai peraturan yang
dikeluarkan Komisi Informasi Pusat, sudah cukup jelas mengatur tentang
mekanisme keterbukaan informasi di lembaga pemerintah, termasuk pemerintahan
daerah.
Kalau saja amanat UU KIP itu dilaksanakan
secara ideal, maka semua informasi yang sifatnya terbuka menurut UU tersebut,
dapat kita akses dengan mudah. Kita bukan hanya bisa melihat profil lembaga
pemerintahan, program dan kegiatannya, nama-nama pejabatnya, ataupun laporan
keuangan APBD, tetapi bisa meminta laporan pertanggungjawaban proyek, laporan
penggunaan dana kegiatan, serta dokumen-dokumen laporan kegiatan yang dulunya
tidak bisa diakses masyarakat.
Sayangnya, kalau melihat hasil evaluasi dan
monitoring Komisi Informasi Provinsi Lampung tahun 2013 terhadap pelaksanaan UU
KIP di instansi pemerintahan daerah di Lampung, bisa disimpulkan bahwa
implementasi UU tersebut masih serba minimalis. Kota Bandar Lampung misalnya,
yang diganjar peringkat terbaik pelaksanaan UU KIP tahun 2013, hanya
mendapatkan nilai agregat 74% dari nilai maksimal 100%. Berada dibawahnya
Kabupaten Lampung Selatan dengan nilai agregat 63% lalu disusul Kota Metro
dengan nilai 60,5%. Itu adalah nilai maksimal yang seharusnya tidak membuat
kita lekas puas dan masih harus diperbaiki.
UU KIP beserta aturan turunannya sudah cukup
gamblang membagi kategori informasi yang terbuka dan tertutup. Diantara jenis
informasi yang terbuka banyak diantaranya yang harus disampaikan secara
proaktif oleh lembaga pemerintah, tidak menunggu permintaan dari pemohon
informasi (lembaga maupun individu). Misalnya informasi tentang laporan
keuangan, profil instansi, program kegiatan, serta informasi mengenai potensi
bencana. Ada juga informasi terbuka yang mesti disampaikan lembaga pemerintah
ketika diminta oleh masyarakat, seperti laporan pelaksanaan proyek atau laporan
penggunaan dana kegiatan. Dari situ saja bisa kita bayangkan bahwa banyak
informasi di lembaga pemerintah yang bisa diakses publik apabila lembaga
tersebut menyampaikan informasi secara proaktif. Apalagi didukung dengan media
penyampaian informasi yang baik seperti website masing-masing pemerintah
daerah.
Maka menurut saya, yang sekarang perlu diperbaiki
adalah komitmen dan dukungan sepenuh hati dari pemimpin lembaga pemerintahan di
Lampung untuk menjalankan amanat UU KIP secara utuh. Komitmen itu setidaknya
ditunjukkan dengan membentuk PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi)
di setiap pemerintah daerah dan mendorongnya bekerja secara maksimal. Membentuk
PPID saja tidak cukup, tapi harus mendorongnya bekerja maksimal. PPID harus
diisi personil yang kompeten serta punya kecenderungan yang positif untuk
menjalankan keterbukaan informasi. PPID juga harus didukung anggaran yang
memadai untuk bisa melaksanakan amanat UU KIP dengan optimal.
PPID ini merupakan implementor atau pelaksana
kebijakan keterbukaan informasi di setiap badan publik pemerintah. Ia merupakan
ujung tombak pelaksanaan keterbukaan informasi yang mewakili wajah lembaga pemerintah
secara keseluruhan. Artinya, ketika terjadi kemandegan dalam implementasi UU
KIP yang disebabkan lemahnya PPID, maka sebetulnya itu menunjukkan adanya
persoalan di dalam lembaga pemerintah tersebut.
Sebagai pelaksana kebijakan, PPID berperan
penting dalam mempengaruhi berhasil tidaknya implementasi kebijakan keterbukaan
informasi. Dalam model implementasi kebijakan yang diperkenalkan Donald Van
Meter dan Carl Van Horn (1975), disebutkan bahwa arah kecenderungan para
implementor kebijakan terhadap isi dan tujuan kebijakan akan mempengaruhi
berhasil tidaknya implementasi kebijakan tersebut. Sebuah kebijakan akan gagal
diimplementasikan apabila para implementor menolak isi dan tujuan dari
kebijakan tersebut.
Demikian halnya dengan kebijakan keterbukaan
informasi yang dimuat dalam UU KIP. Apabila para implementor kebijakan (PPID)
di lembaga-lembaga pemerintah mengidap kecenderungan penolakan terhadap isi UU
tersebut, maka akan sulit melaksanakan amanat UU KIP secara benar.
Kecenderungan penolakan itu akan berakibat pada tersendatnya pelayanan dan
penyampaian informasi kepada publik. Penolakan itu mungkin tidak diekspresikan
secara vulgar, tapi dilakukan dengan cara halus seperti tidak mengacuhkan
amanat UU KIP untuk menyampaikan informasi yang mesti dilakukan secara berkala.
Kalau membaca beberapa kasus sengketa
informasi yang pernah ditangani Komisi Informasi Pusat sejak tahun 2010,
kecenderungan adanya resistensi dari lembaga pemerintah itu memang terlihat.
Seperti penolakan institusi Polri terhadap permintaan informasi nama pemilik
rekening gendut 17 perwira polisi oleh ICW atau atau kasus penolakan permintaan
informasi laporan pertanggungjawaban dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di
lima SMP di Jakarta.
Mengapa resistensi terhadap UU KIP muncul?
Dari sisi substansi, UU KIP merupakan produk kebijakan yang mengandung semangat
perubahan tata nilai dan pola pikir penyelenggara pemerintahan dari tata nilai
dan pola pikir serba tertutup menjadi pola pikir serba terbuka. Kebijakan yang
berkaitan dengan perubahan tata nilai semacam ini memang tidak gampang
dilakukan karena adanya pertentangan nilai lama dan nilai baru didalam diri
para pelaksana kebijakan. Nilai keterbukaan yang ada dalam UU KIP akan berhadapan
dengan bangunan tradisi ketertutupan yang telah lama membelit birokrasi
pemerintahan.
Maka menurut saya, kunci utama untuk
melaksanakan kebijakan keterbukaan informasi sesuai amanat UU KIP ada pada
kepala lembaga pemerintahan. Para kepala daerah di Lampung harus lebih kuat
mendorong pelaksanaan amanat UU KIP melalui PPID masing-masing. Jauh lebih
mudah mendorong PPID bergerak daripada mengkonsep perda transparansi yang
pastinya juga akan mengacu pada UU KIP dan aturan yang sejalan diatasnya.
Wallohu a’lam.
Yogayakarta, 10 september 2014
Comments
Post a Comment