Skip to main content

Mengelola Honorer Pemda

Beberapa pekan lalu, Pemerintah Kabupaten Mesuji memberhentikan 11 tenaga honorer yang menurut hasil penilaian memang layak dirumahkan. Tingkat kehadiran, loyalitas, tanggung jawab, serta evaluasi kerja menjadi pertimbangan dibalik munculnya kebijakan tersebut. Pemkab Mesuji juga mengingatkan tenaga honorer lain untuk meningkatkan kinerja dan tidak malas-malasan. Secara faktual, benarkah tenaga honorer berkinerja rendah dan cenderung malas dalam bekerja?

Antara kinerja yang rendah atau tidak memuaskan dengan malas itu dua hal yang berbeda. Penilaian berupa “kinerja yang tidak memuaskan” itu idealnya didapatkan dari perbandingan antara indikator kinerja yang ditetapkan dengan realisasi pencapaian kinerjanya. Jika indikator kinerjanya jelas dan terukur, data realisasi kerja juga ada, maka tentu kita bisa melakukan penilaian kinerja secara tepat. Dengan demikian, ketika kita mengatakan “kinerjanya tidak memuaskan” itu didasarkan pada hasil penilaian objektif, bukan berdasarkan perkiraan atau perasaan belaka. Ia, seharusnya adalah gambaran dari fakta.

Adapun penilaian “malas” adalah kata sifat yang sering kali merupakan opini pihak lain yang belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Misalnya, ketika di sebuah kantor pemda terlihat pegawai honorer yang duduk-duduk mengobrol, merokok, dan tidak sedang mengerjakan apapun selama seharian penuh, orang lain yang melihatnya mungkin akan mencap mereka sebagai “pemalas”. Ini opini yang muncul dari pengamatan sesaat. Tetapi, bisakah kita sebut mereka malas ketika misalnya ternyata memang tidak ada pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka sehingga mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan? Tepatkah kita katakan mereka malas ketika ternyata tidak jelas tugas pokok serta indikator kinerja untuk mereka?

Dalam menyikapi persoalan tenaga honorer seperti di Kabupaten Mesuji, saya ingin mengajak kita semua menyelaminya lebih dalam sehingga lebih bisa memahami munculnya predikat “kinerja rendah” dan opini “malas”. Ini juga untuk melatih kita berhati-hati dalam menyikapi persoalan tersebut.

Persoalan tenaga honorer yang tampak di permukaan seperti yang terjadi di Pemkab Mesuji bisa jadi berakar pada ketidakjelasan dan ketidaktegasan manajemen tenaga honorer di pemerintahan daerah, baik soal rekrutmen, penempatan, pembinaan, pelatihan, evaluasi kerja, maupun pemberhentian. Implikasinya, keberadaan tenaga honorer tidak membawa nilai tambah pada kualitas kerja pemerintah daerah, malah menjadi beban tambahan. Dan ini terjadi sejak lama sehingga bisa kita katakan bahwa permasalahan yang muncul sekarang adalah warisan dari kebijakan lama.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini rekrutmen tenaga honorer yang ditempatkan di kantor-kantor pemerintahan daerah tidak dilakukan secara terbuka. Kita juga tidak tahu apakah rekrutmen tersebut dilakukan berdasarkan analisis kebutuhan pegawai yang benar atau tidak. Faktanya, banyak diantara tenaga honorer yang dipekerjakan sebagai staf umum di kantor-kantor pemda yang merupakan bawaan atau titipan pejabat daerah baik eksekutif maupun legislatif.

Dengan model rekrutmen seperti itu, akan sulit bagi kita untuk mengukur kualifikasi serta kompetensi tenaga honorer yang direkrut. Wajar jika kemudian badan kepegawaian kesulitan menentukan tempat kerja yang tepat bagi mereka, yang sesuai dengan kompetensinya. Akhirnya, tenaga honorer tersebut hanya ditugaskan pada kantor-kantor yang sekedar bisa menampung keberadaan mereka.

Idealnya, rekrutmen tenaga honorer dilakukan berdasarkan analisis kebutuhan yang jelas baik kualifikasi maupun jumlahnya. Misalnya tenaga guru, kesehatan, polisi pamong praja, sopir, cleaning service atau posisi apapun yang membutuhkan kualifikasi tertentu. Selanjutnya ditetapkanlah indikator kinerja yang akan menjadi alat penilaian dan evaluasi kerja. Indikator kinerja ini yang akan menjadi pertimbangan pemda untuk tetap menggunakan tenaga honorer tersebut atau memberhentikannya. Dan dengan model seperti itu, kehadiran tenaga honorer bisa dirasakan nilai tambahnya bagi pemerintah daerah.

Lalu, bagaimana dengan tenaga honorer yang sekarang sudah ada? Jika mencermati kebijakan pemerintah pusat, maka peluang tenaga honorer untuk menjadi CPNS sudah tertutup setelah perekrutan CPNS dari tenaga honorer kategori 2 beberapa waktu lalu. Tenaga honorer yang sekarang masih ada, bisa jadi diharuskan mengikuti seleksi terbuka untuk menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Pemerintah daerah juga harus mempersiapkan diri dengan kebijakan baru dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang tidak lagi mengenal istilah honorer.  Ada daerah tertentu yang dikabarkan sudah mulai melakukan pemecatan terhadap ratusan tenaga honorer sebagai tindak lanjut lahirnya Undang-Undang ASN. Sementara kebanyakan daerah lain, masih menunggu aturan turunan dari UU tersebut yang diharapkan akan memberikan kejelasan status kepada tenaga honorer yang sekarang sudah ada.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa ada tenaga honorer yang memang benar-benar masih dibutuhkan seperti guru-guru honor yang mengajar di tempat-tempat terpencil dan kekurangan guru. Bila pemerintah memberhentikan mereka begitu saja, selain berdampak pada minimnya tenaga guru, juga menimbulkan persoalan lain berupa kemungkinan bertambahnya angka pengangguran. Saya kira harus ada kekhususan pengaturan bagi tenaga honorer seperti guru di daerah terpencil tersebut.

Adapun tenaga honorer lain, sebaiknya memang diikutsertakan mengikuti seleksi menjadi PPPK sesuai dengan formasi yang dibutuhkan. Tidak boleh ada persyaratan yang menghambat mereka untuk mengikuti seleksi PPPK. Sementara proses seleksinya sendiri tetap dilakukan bersama dengan pelamar dari masyarakat umum lain yang belum pernah menjadi tenaga honorer, tidak ada pengistimewaan.

Dibanding tenaga honorer, status sebagai PPPK sebetulnya lebih berpeluang mendapatkan jaminan gaji dan tunjangan yang layak. Gaji tenaga honorer saat ini jelas tidak bisa dikatakan memadai untuk hidup berkeluarga. Sementara PPPK, menurut pasal 22 UU ASN, berhak memperoleh gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, dan pengembangan kompetensi. Saya kira ini jauh lebih baik daripada apa yang didapatkan tenaga honorer saat ini.

Pembenahan tenaga honorer yang sedang dilakukan pemerintah memang bukan upaya yang gampang, tapi memang harus dilakukan untuk memperbaiki pelayanan birokrasi serta mengurangi beban belanja pegawai pemerintah daerah.


Yogyakarta, 18 Agustus 2014

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Keberhasilan Pola Kemitraan Bagi Sektor Perikanan

Undang-undang No 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mendefinisikan kemitraan sebagai kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar. Adapun pola kemitraan yang dianut dalam undang-undang tersebut berupa inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan ( joint venture ), dan penyumberluaran ( outsourcing ). Dari berbagai pola kemitraan tersebut, penulis tertarik memberikan pandangan terhadap praktik pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dijalankan di Indonesia. Pola kemitraan inti-plasma ini diperkenalkan Bank Dunia (World Bank) era 1970-an yang diterapkan dalam program pertanian sebagai pengganti model perkebunan skala besar. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian Keputusan Presiden s

Lulus Tes CPNS Tanpa Curang

Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang tips-tips supaya lulus tes tulis CPNS. Saya memang punya pengalaman tiga kali ikut tes tulis CPNS dan semuanya lulus. Dua kali lulus tes tulis CPNS dosen, 1 kali lulus tes CPNS pemda. Tahun 2007 dan 2008 saya lulus tes CPNS dosen, tapi gagal di tes wawancara dan microteaching. Akhir 2008, saya lulus tes CPNS pemda yang mengantarkan saya pada profesi baru sebagai calon abdi negara. Banyak orang yang pesimis dengan proses rekrutmen CPNS karena sejarah perekrutan calon-calon pelayan masyarakat ini kerap diimbuhi kasus-kasus ketidakberesan beraroma KKN. Kasus suap, perjokian, serta nepotisme memang selalu mengemuka. Bahkan ada juga yang berujung di meja hijau. Namun, seiring reformasi birokrasi yang rajin didengungkan banyak kalangan, penegakkan hukum yang mulai tumbuh, ditambah media massa yang kritis, rasanya kita tak boleh kehilangan optimisme bahwa ke depan rekrutmen PNS akan berjalan secara jujur. Ketika saya akan mengurus Sur

Pemburu Rente Anggaran (Tulisan di Lampung Post, 12 November 2013)

Salah satu persoalan yang muncul dalam sektor pembiayaan pembangunan pemerintah adalah keberadaan para pemburu rente yang selalu mengintip peluang memperoleh keuntungan dari setiap mata anggaran negara yang akan dibelanjakan, terutama di ranah pengadaan barang dan jasa. Pemburu rente ini bisa dari kalangan internal birokrasi, pejabat politik, pengusaha, bahkan dari aktor yang secara struktural tidak ada dalam wilayah jabatan formal pemerintahan tetapi memiliki pengaruh dalam menentukan agenda pembangunan pemerintah, baik karena ada kaitan kekerabatan maupun karena hubungan pertemanan yang sangat erat dengan penguasa. Tahanan KPK Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Suami dari Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sekaligus adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mungkin termasuk tipe yang terakhir disebutkan. Ia berada diluar struktur pemerintahan, tetapi diduga berperan penting dalam penentuan kebijakan tender proyek-proyek pemerintah di Provinsi Banten dan Tanger